Minggu, 07 Maret 2010

KOMITMEN DAN TANPA BASA-BASI

Oleh: Puji Hartono

Dr. Abdullah An-Nashi’, mantan konsultan kedokteran anak Rumah Sakit Malik Fahd, adalah salah satu contoh cemerlang mampu memadukan antara spesialisasi keilmuan dengan tanggung jawab dakwah kepada Allah.

la pernah pergi ke Amerika untuk menghadiri konferensi kedokteran dan dimintai masukan oleh sebagian kawan. menasihatinya dengan tiga hal:

1. Melaksanakan shalat pada waktunya dan tidak meremehkannya dengan alasan apapun.
2. Selalu mengenakan baju gamis dan syimagh, dengan catatan dibalut dengan mantel ala dokter. Hal itu dimaksudkan membangkitkan rasa bangga sebagai muslim di negen asing.
3. Komitmen terhadap dakwah.

Dr. Abdullah mengatakan, “Sebelum konferensi dimulai, berusaha keras untuk mencari dokter asal Arab supaya saya bisa duduk di sampingnya dan ia dapat mendukung saya. Dan benarlah, saya menemukan seorang dokter dengan raut muka orang Arab. Lalu saya duduk di sampingnya. Namun saya dikejutkan olehnya saat ia mengatakan kepada saya, “Cepat pergi dan ganti pakaian ini! (Jangan membuat kita gagal di depan orang asing!)” Saya berkata di dalam hati, “Seandainya saya duduk di samping orang Amerika, pasti tidak akan berkata seperti itu”

Konferensi dimulai dan sesaat kemudian waktu shalat Zhuhur tiba. Kemudian saya pun berdiri untuk shalat. Saya rnengumandangkan adzan dengan suara yang terdengar, tapi lirih. Kemudian saya melaksanakan kewajiban saya dan setelah itu kembah ke tempat saya. Satu jam kemudian waktu Ashar masuk, saya berdiri lagi untuk shalat Kemudian saya merasa ada seseorang berdiri di samping saya dalam shalat. Setelah selesai shalat, saya menoleh ke makmum itu, dan ternyata dia adalah dokter Arab yang baru saja mengkritik pakaian saya. Saya melihat matanya merah dan berlinang air mata. Lalu saya salami dia, dan dengan suara parau dia berkata kepada saya, “Terima kasih banyak. Saya tiba di Amerika semenjak 40 tahun silam. Saya menikah dengan wanita Amerika, memegang kewarganegaraan -Amerika, dan urusan keuangan dan penghidupan saya sangat baik. -Akan tetapi, demi Allah, saya tidak pernah sekalipun sujud kepada Allah selama 40 tahun itu. Dan ketika saya melihat anda melaksanakan shalat yang pertama, tiba-tiba banyak hal yang bergerak di dalam diri saya. Saya teringat akan Islam yang telah saya lupakan semenjak saya tiba di negara ini. Saya menjadi ingat kepada Allah dan ibadah kepadaNya. Saya menjadi ingat saat berdiri di hadapan Tuhan Yang Maha Perkasa pada hari yang kritis itu. Dan saya berkata di dalam hati saya, ‘Jika pemuda ini berdiri untuk shalat lagi, maka saya akan shalat bersamanya.” Dan begitu saya bertakbir bersama anda, saya langsung diliputi rasa dekat dengan Allah dan rasa takut kepada-Nya.”

Kemudian, antara saya dan dokter itu tumbuhlah hubungan vang erat. Di sela-sela mondar-mandir dengannya, saya bisa mengetahui banyak hal di Amerika dalam waktu yang singkat. Saat itu saya berharap bisa berbicara tentang Islam dan melaksanakan tugas dakwah kepada Allah dalam konferensi tersebut, tetapi kesempatan itu tidak tepat karena semua dokter laki-laki dan wanita sibuk dengan urusan konferensi dan mencari tambahan informasi dari berbagai penelitian dan rekomendasi dari para dokter.

Pada hari terakhir dalam konferensi itu, diadakan acara penutupan yang diisi dengan beberapa mata acara. Saya terkejut bahwa salah satu mata acaranya adalah permintaan dari panitia agar saya berbicara selama 5 menit tentang dua hal:

1. Mengenai alasan saya bersikukuh mengenakan pakaian ala Arab, sehingga banyak mengundang tanda tanya dari para dokter yang hadir, baik laki-laki maupun wanita.
2. Tentang perkembangan Kerajaan Arab Saudi.

Kemudian saya berkata, “Mengenai pakaian, sebagaimana anda punya tradisi dan adat istiadat yang anda pegang teguh, maka pakaian ini adalah bagian dari tradisi dan adat istiadat kami. Sehingga kami pun memegangnya dengan teguh. Sedangkan mengenai perkembangan Kerajaan Arab Saudi, alhamdulillah di sana ada kebangkitan peradaban dan perkembangan yang terlihat jelas”

Sebenarnya saya ingin sekali berbicara tentang Islam, tetapi mereka membatasi waktu saya hanya 5 menit dan mereka meminta saya untuk berbicara tentang pakaian dan perkembangan negara. Namun Allah memberikan taufiq kepada saya sehingga terlintas ide dalam benak saya -saat saya berbicara- untuk memberikan tanda tanya di hadapan mereka. Lalu saya katakan kepada mereka, “Kita berkumpul di sini untuk melakukan kajian kedokteran mengenai cairan yang ada di dalam tubuh dalam sebuah konferensi yang menghabiskan dana sekian US dolar. Akan tetapi, pada tubuh manusia seutuhnya ini apa hikmah (rahasia) di balik eksistensinya di dunia ini?”

Waktu 5 menit itu selesai dan saya hendak kembali ke tempat saya. Namun, produser yang merekam acara itu melalui video melihat bahwa para dokter -laki-laki dan wanita- tertarik dengan pertanyam yang saya lontarkan. Kemudian ia memberikan aba-aba dengan tangannya agar saya terus berbicara selama 5 menit lagi. Nah, di sini saya mendapat kesempatan untuk berbicara tentang Islam. Hanya dengan memulai pembicaraan tentang Islam, tiba-tiba seorang doktet wanita asal Barat berdiri dan berkata, “Boleh bertanya, Dokter, mengapa Rasul anda menikahi 11 orang wanita? Ini menunjukkm bahwa ia adalah orang yang suka mengumbar nafsu (seks).”

Saya menjawab pertanyaan dokter wanita itu dengan mengajukan dua pertanyaan kepadanya dan kepada sejumlah dokter yang ada:

Pertama, tolong beritahu saya, orang yang menikah karena nafsa (seks) akan memihh gadis atau janda ? Mereka sepakat bahwa ia akan memilih gadis. Lalu saya katakan kepada mereka, “Wanita pertama yang dinikahi Rasulullah ia adalah Khadijah binti Khuwailid yang berstatus janda dan berusia 40 tahun”

Kedua, pada usia berapakah nafsu seksual meledak-ledak?
Mereka menjawab bahwa kurang lebih mulai dari usia 16 tahun sampai 40 tahun, sebagai usia kesempurnaan bagi kejantanan dan kematangan akal. Saya katakan, “Rasul kami tidak menikah dengan wanita lain setelah Khadijah, kecuali setelah usia beliau mencapai 50 tahun”. Jadi, masalahnya adalah untuk kepentingan penetapan syari’at dan hikmah, bukan syahwat.”

Dokter wanita itu berkata, “Jika kami menyerah pada anda dalam konteks Rasul anda, lalu mengapa anda (umat Islam) menikahi 4 orang wanita. Ini adalah penghinaan bagi wanita?!”

Kemudian Dr. Abdullah mengajak dokter wanita itu berdialog dan berkata, “Masyarakat Barat sekarang ini seorang laki-laki menikahi satu orang wanita saja, tetapi berhubungan intim secara ilegal (haram) dengan sejumlah wanita, baik teman maupun pacar gelap. Data statistik kontemporer di Barat menunjukkan bahwa populasi wanita lebih banyak daripada laki-laki. Hubungan intim yang dilakukan lakilaki membuat kaum wanita hanya sebagai tempat pelampiasan nafsu saja. Lalu setelah si laki-laki menyalurkan libidonya, maka si wanita menjadi tidak berharga lagi baginya. Penghinaan terhadap wanita seperti apa yang lebih dahsyat dari itu?! Sedangkan agama kami mengharuskan kami untuk memperlakukan semua istri secara ma’ruf (baik) dan memberikan hak-hak mereka secara adil. Selain itu, wanita juga harus diposisikan sebagai bagian dari laki-laki, karena wanita adalah rumahnya, tempat tinggalnya dan pakaiannya. Itu adalah ikatan yang kuat di mana wanita dapat menemukan kehormatannya dan merealisasikan kewanitaannya. Jadi, manakah yang lebih agung dan lebih mulia, wahai para dokter sekalian?!”

Dokter wanita itu tidak bisa memberikan jawaban yang meyakinkan dan menelan batu. Beberapa menit setelah itu ada 4 orang dokter wanita asal Barat yang menyatakan keinginannya untuk masuk Islam.

Dr. Abdullah hanyalah satu di antara contoh-contoh menakjubkan yang mengharumkan Saudi. Ia adalah contoh bagi orang Arab muslim yang bangga dengan identitas dan agamanya. Seandainya ia tunduk kepada barat dan silau padanya -seperti yang dialami oleh banyak intelektual kita yang larut di dalamnya, dan ini sangat disayangkan- niscaya pembicaraannya tentang Islam dan bantahannya atas syubuhat (prasangka dan keraguan) tersebut tidak akan berpengaruh apa-apa terhadap forum kedokteran tersebut.

Mereka benar-benar terkesan dengan rasa bangganya terhadap jati diri dan agamanya, sebelum mereka terkesan dengan ucapannya. Ini adalah surat dari kami untuk semua orang yang silau pada dunia Barat dan larut ke dalam budayanya. Hendaklah mereka mengingat ucapan Al-Faruq kita, pemimpin kita, mertua Rasul kita dan kekasih behau, Umar bin Khaththab radhiallahu’anhu,

“Dulu kita hina, lalu Allah memuliakan kita dengan Islam. Maka setiap kali kita mencari kemuliaan di luar Islam, Allah akan menghinakan kita.”

[Diambil dari”Malam pertama, setelah itu air mata” kisah-kisah mengharukan yang penuh pelajaran keimanan dan pelembut hati. Penerbit Pustaka Elba]

Ditulis Ulang Oleh : Andika Putra
Di Alamat: http://www.facebook.com/notes/andika-putra/komitmen-dan-tanpa-basa-basi/345749556956

Sumber Asli:
http://www.perpustakaan-islam.com/index.php?option=com_content&view=article&id=260:komitmen-dan-tanpa-basa-basi&catid=40:tazkiyatun-nufus

USHULUSSUNNAH - Imam Ahmad bin Hanbal Rahimahullah

USHULUSSUNNAH
Imam Ahmad bin Hanbal Rahimahullah

Akhir-akhir ini karena gencarnya dakwah yang dilakukan oleh Ahlul bi’dah dan makar yang dilakukan oleh orang-orang yang memusuhi Islam mengakibatkan umat Islam banyak yang tidak mengetahui pokok-pokok agama mereka.

Oleh sebab itu kami merasa terpanggil untuk menjelaskan aqidah Islam (Ahlus Sunnah wal Jama’ah) kepada masyarakat luas agar mereka bisa mempelajari dan mengamalkannya.

Alhamdulillah, kami mendapatkan satu kitab, walaupun kecil bentuknya namun mengandung ilmu yang sangat besar dan bermanfaat bagi kaum muslimin di dunia dan akhirat. Buku karya Imam Ahlus Sunnah Ahmad bin Hanbal ini berisi pokok-pokok Aqidah Ahlus Sunnah yang sudah banyak dilupakan oleh kaum muslimin.

Akhirnya mudah-mudahan ini merupakan sumbangsih kami dalam menyebarkan Dakwah Salafiyah Ahlus Sunnah wal jama’ah, dan mudah-mudahan Allah menjadikannya bermanfaat bagi segenap pembaca khususnya dan kaum muslimin pada umumnya. Amin.

Tak lupa segala kritik dan saran tetap kami harapkan demi kesempurnaan risalah ini, karena kami yakin kami adalah orang yang dhai’f, semoga Allah meridhai kita semua.

Penerbit Al Mubarak
Bismillahirrahmanirrahim

MUQADDIMAH

Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam, akhir hidup yang baik adalah balasan bagi orang yang bertaqwa. Tiada permusuhan melainkan kepada orang yang dzalim. Aku bersaksi bahwasanya Tiada sesembahan yang Haq melainkan Allah semata, tiada sekutu bagiNya Al Mulk, Al Haq dan Al Mubin, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan rasul Nya penutup para Nabi Shalallahu ’alaihi wasallam dan imamnya orang-orang yang bertaqwa, shalawat dan salam Allah semoga dilimpahkan kepadanya, kepada keluaga dan shahabatnya dan kepada orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari kiamat.

Amma Ba’du, Sesungguhnya Allah Ta’ala telah mengutus rasul Nya Muhammad dengan petunjuk dari agama yang benar sebagai rahmat bagi seluruh alam, tauladan bagi orang yang beramal shalih dan hujjah bagi seluruh manusia. Beliau telah menjelaskan dengan petunjuk dan agama yang benar serta dengan apa yang telah turun kepadanya yakni Al Qur’an dan hikmah (Sunnah) semua perkara yang mengandung kebaikan bagi manusia dan bisa membuat mereka istiqamah dalam masalah agama ataupun dunia, yaitu penjelasan tentang masalah aqidah yang benar dan amalan-amalan yang baik, akhlak yang utama dan adab yang tinggi.
Rasulullah Shalallahu ’alaihi wasallam meninggalkan umatnya diatas jalan yang putih, malamnya seperti siangnya tidak ada yang menyeleweng dari jalan tersebut kecuali orang yang binasa.

Berjalanlah umat yang mentaati Allah dan Rasul Nya diatas manhaj tersebut, mereka adalah makhluk yang terbaik, mereka itu adalah para sahabat dan tabiin serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, menjalankan syariat Allah, berpegang teguh dengan Sunnah Rasululah, menggigitmya dengan gigi geraham mereka, sehingga mereka menjadi kelompok yang terus mendapatkan kemenangan, tidak terganggu oleh orang yang menyakiti atau menyelisihi mereka, hingga datangnya urusan Allah mereka tetap dalam keadaan demikian.

Kita – Alhamdulillah – berjalan mengikuti jejak mereka yang dikuatkan oleh AlQur’an dan Sunnah. Kita berkata demikian dalam rangka menceritakan nikmat Allah dan menerangkan apa yang wajib dilakukan oleh seorang mukmin.

Dan kita minta kepada Allah untuk menetapkan hati kita dan saudara-saudara yang muslim dalam memegang perkataan yang kokoh di dunia dan akhirat dan kita meminta kepada Nya untuk memberikan rahmat Nya kepada kita, sesungguhnya Dia Maha Pemberi.

Darul Manar merasa senang bisa ambil bagian dalam menyebarkan kitab ushul Sunnah karya imam yang mulia Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah. Kitab ini telah disebarkan pada awalnya di majalah Mujahid nomor 28/29 bulan Sya’ban-Ramadhan 1411 H, dan itu adalah nuskhah makhtuthat dengan tulisan Muhadits Muhammad Nashiruddin Albani, Mudah-mudahan Allah memberinya kebaikan dan memberikan manfaat ilmunya pada kita.

Darul Manar telah mentakhrij, meneliti serta mencetaknya kembali. Kita meminta kepada Allah agar menjadikannya bermanfaat bagi seluruh muslimin. Shalallahu’ala Nabiyyina Muhammad Wa’ala alihi wa ashabihi ajma’in,

PENERBIT Darul Manar

POKOK-POKOK SUNNAH MENURUT IMAM AHMAD BIN HANBAL RAHIMAHULLAH

Telah mengabarkan kepada kami Syaikh Abu Abdillah Yahya bin Abi Hasan bin AlBanna, ia berkata:”Ayahku Abu Ali Hasan bin Al Banna mengabarkan kepada kami:”Telah mengabarkan kepada kami Abul Hasan Ali bin Muhammad bin Abdullah bin Bisyran Al Muadil:”Aku adalah ‘Utsman bin Ahmad bin As Samk :”Telah menceritakan kepada kami Abu Muhammad Al Hasan bin Abdul wahab Abu Nabri, beliau telah membaca kitabnya pada bulan Rabiul awal Th. 293H. ia berkata:”Telah mengabarkan kepada kami Abu Ja’far Muhammad bin Sulaiman Almuqri Al Bashri Di Tunisia :”Telah mengabarkan kepadaku Abdus bin Malik Al Athar :”Aku mendengar Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal berkata :”Pokok-pokok Sunnah (Islam) disisi kami adalah:
- Berpegang teguh dengan apa yang dijalani oleh para shahabat serta bertauladan kepada mereka, meninggalkan perbuatan bid’ah, karena setiap bid’ah adalah sesat, serta meninggalkan perdebatan dalam masalah agama
- Sunnah menafsirkan Al Qur’an dan Sunnah menjadi dalil-dalil (sebagai petunjuk dalam memahami) Al Qur’an, tidak ada qiyas dalam masalah agama, tidak boleh dibuat pemisalan – pemisalan bagi Sunnah, dan tidak boleh dapat dipahami dengan akal dan hawa nafsu, kewajiban kita hanyalah mengikuti Sunnah serta meninggalkan akal dan hawa nafsu.
- Dan termasuk Sunnah yang harus diyakini Barangsiapa meninggalkan salah satu dari nya
- tidak menerima dan tidak beriman padanya – maka dia tidak termasuk golongan Ahlus Sunnah, adalah:

1. Iman kepada takdir yang baik dan buruk, membenarkan hadits-hadits tentang masalah ini, beriman kepadanya, tidak mengatakan “mengapa?”, dan tidak pula mengatakan :”Bagaimana?”, akan tetapi kita hanya membenarkan dan beriman dengannya. Barangsiapa yang tidak mengetahui penafsiran satu hadits, dan tidak dapat dicapai oleh akalnya sesungguhnya hal tersebut telah cukup dan sempurna atasnya (tidak perlu berdalam-dalam lagi). Maka wajib baginya beriman, tunduk dan patuh dalam menerimanya, seperti hadits ;’As shadiqul masduq “dan hadits-hadits yang seperti ini dalam masalah taqdir, demikian juga semisal hadits – hadits ru’yah (bahwa kaum mukminin akan melihat Allah di sorga), walaupun terasa asing pada pendengaran dan berat bagi yang mendengar, akan tetapi wajib mengimaninya dan tidak boleh menolak satu huruf pun, dan juga hadits-hadits lainnya yang ma’tsur (diriwayatkan) dari orang-orang terpercaya, jangan berdebat dengan seorangpun, tidak boleh pula mempelajari ilmu jidal, karena berbicara tanpa ilmu dalam masalah takdir, ru’yah dan Qur’an dan masalah lainnya yang terdapat dalam Sunnah adalah perbuatan yang dibenci dan dilarang, pelakunya tidak termasuk ahlus Sunnah walaupun perkataannya mencocoki Sunnah sampai dia meninggalkan perdebatan dan mengimani atsar.

2. Al Qur’an adalah kalamullah bukan makhluk, tidak benar hanya mengatakan :”bukan makhluk”. Sesungguhnya kalamullah itu bukanlah sesuatu yang terpisah dari Dzat Allah, dan sesuatu yang berasal dari dzatnya itu bukanlah makhluk. Jauhilah berdebat dengan orang yang hina dalam masalah ini dan dengan orang lafdziyah (Ahlul bid’ah yang mengatakan lafadzku ketika membaca Al Qur’an adalah makhluk) dan lainnya atau dengan orang yang tawaquf (Abstain) dalam masalah ini yang berkata :”Aku tidak tahu Al Qur’an itu makhluk atau bukan makhluk tetapi yang jelas Al Qur’an adalah kalamullah”, orang ini (yang tawaquf ) adalah ahlul bid’ah seperti orang yang mengatakan Al Qur’an adalah makhluk. Ketahuilah (keyakinan ahlus Sunnah adalah) Al Qur’an adalah kalamullah bukan makhluk.

3. Beriman dengan ru’yah (bahwa kaum mukminin akan melihat Allah) pada hari kiamat sebagaimana diriwayatkan dari Nabi Shalallahu ’alaihi wasallam dalam hadits-hadits yang shahih

4. Nabi Shalallahu ’alaihi wasallam sungguh telah melihat Rabbnya, hal ini telah ma’tsur dari Rasulullah Shalallahu ’alaihi wasallam diriwayatkan oleh Qatadah dari Ikrimah dari Ibnu Abbas dan diriwayatkan oleh Al Hakam bin Iban dari Ikrimah dari Ibnu Abbas, diriwayatkan pula oleh Ali bin Zaid dari Yusuf bin Mihram dari Ibnu Abbas, dan kita memahami hadits ini sesuai dengan dhahirnya sebagaimana datangnya dari Rasulullah Shalallahu ’alaihiwasallam dan berbicara (tanpa ilmu) dalam hal ini adalah bid’ah, akan tetapi kita wajib beriman dengannya sebagaimana dhahirnya dan kita tidak berdebat dengan seorangpun dalam masalah ini.

5. Beriman dengan mizan (timbangan amal) pada hari kiamat, sebagaimana disebutkan dalam hadits : (yang artinya) ’’Seorang hamba akan ditimbang pada hari kiamat, dan beratnya tidak seberat sayap nyamukpun” dan akan ditimbang amalan para hamba sebagaimana disebutkan dalam atsar, maka wajib bagi kita untuk beriman dan membenarkannya, serta berpaling dari orang-orang yang menentangnya serta (kita harus) meninggalkan perdebatan.

6. Sesungguhnya para hamba akan berbicara dengan Allah pada hari kiamat tanpa adanya penerjemah antara mereka dengan Allah dan kita wajib mengimaninya.

7. Beriman kepada haudh (telaga) yang dimiliki oleh Rasulullah Shalallahu ’alaihi wasallam pada hari kiamat, yang akan didatangi oleh umatnya, luasnya seperti panjangnya yaitu selama perjalanan satu bulan, bejana-bejananya seperti banyaknya bintang-bintang di langit, hal ini sebagaimana diberitakan dalam khabar-khabar yang benar dari banyak jalan.

8. Beriman dengan adanya adzab kubur.

9. Sesungguhnya umat ini akan diuji dan ditanya dalam kuburnya tentang Iman, Islam, siapa Rabbnya dan siapa Nabinya. Munkar dan Nakir akan mendatanginya sebagaimana yang Dia kehendaki dan inginkan. Kita wajib beriman dan membenarkan hal ini.

10. Beriman kepada syafa`at Nabi Shalallahu ’alaihi wasallam dan kepada suatu kaum yang akan keluar dari neraka setelah mereka terbakar dan menjadi arang, kemudian mereka akan diperintahkan menuju sungai di depan pintu syurga (sebagaimana diberita kan dalam atsar) sebagaimana dan seperti apa yang Dia kehendaki, kita wajib beriman dan membenarkan hal ini.

11. Beriman bahwa Al-Masih Ad-Dajjal akan keluar, tertulis diantara kedua matanya (Kafir/bahasa Arab) dan beriman dengan hadits-hadits yang datang tentang masalah ini beriman bahwa ini akan terjadi.

12. Beriman bahwa Isa bin Maryam akan turun dan membunuh dajjal di pintu Ludh.

13. Iman adalah ucapan dan amalan, bertambah dan berkurang, sebagaimana telah diberitakan dalam hadits :( yang artinya) “Orang mu’min yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik ahlaqnya”, dalam hadits lain:

“Barangsiapa meninggalkan shalat sungguh ia telah kafir”,”Tidak ada amalan yang kalau ditinggalkan orang menjadi kafir kecuali shalat”. Maka Barangsiapa meninggalkan shalat ia menjadi kafir dan Allah telah menghalalkan membunuhnya.

14. Sebaik-baik umat setelah Nabi Shalallahu ’alaihi wasallamnya adalah Abu bakar As Shidiq, kemudian Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, kita mengutamakan tiga shahabat ini sebagaimana Rasulullah Salallahu’alaihi wasallam mengutamakan mereka, para shahabat tidak berselisih dalam masalah ini, kemudian setelah tiga orang ini orang yang paling utama adalah ashabus syura (Ali bin Abi Thalib, Zubair, Abdur Rahman bin Auf, Sa’ad dan [Thalhah]*) seluruhnya berhak untuk menjadi khalifah dan imam. Dalam hal ini kita berpegang dengan hadits Ibnu Umar : (yang artinya) “Kami menganggap ketika Rasulullah Shalallahu ’alaihi wasallam masih hidup dan para sahabatnya masih banyak yang hidup, bahwa sahabat yang terbaik adalah : Abu Bakar, Umar dan Utsman kemudian kita diam (tidak menentukan orang keempat)”, kemudian setelah ashabus syura orang yang paling utama adalah orang yang ikut perang badar dari kalangan Muhajirin kemudian dari kalangan Anshar sesuai dengan urutan hijrah mereka, yang lebih dulu hijrah lebih utama dari yang belakangan, kemudian manusia yang paling utama setelah para sahabat adalah generasi yang beliau diutus pada mereka dan sahabat yang pernah bersahabat dengan beliau selama satu tahun, satu bulan, satu hari atau satu jam, siapa yang pernah melihat Rasulullah Shalallahu ’alaihi wasallam maka dia termasuk sahabat Rasulullah Shalallahu ’alaihi wasallam. Dia mempunyai keutamaan sesuai dengan lamanya dia bersahabat dengan Rasulullah Shalallahu ’alaihi wasallam, dia lebih dulu masuk Islam bersama Rasulullah Salallahu’alaihi wasallam, mendengar dan melihatnya (merupakan satu keutamaan baginya – pent). Orang yang paling rendah persahabatannya dengan Rasulullah Shalallahu ’alaihi wasallam tetap lebih utama dari pada generasi yang tidak pernah melihatnya, walaupun mereka bertemu dengan Allah dengan membawa seluruh amalannya. Mereka yang telah bersahabat dengan Nabi Shalallahu ’alaihi wasallam telah melihat dan mendengar beliau lebih utama –karena persahabatan mereka – dari kalangan Tabi’in walaupun mereka (Tabi’in) telah beramal dengan semua amal kebaikan.

15. Mendengar dan taat pada Imam dan Amirul mukminin yang baik ataupun yang fajir.dan juga wajib taat kepada orang yang menjabat kekhalifahan karena manusia telah berkumpul (ba’iat) dan ridha kepadanya, dan juga taat kepada orang yang memberontak mereka dengan pedang hingga menjadi khalifah dan dinamakan amirul mukminin.

16. Jihad terus berlangsung bersama Imam hingga hari kiamat dengan imam yang baik ataupun fajir tidak boleh ditinggalkan.

17. Pembagian harta fa’i (harta rampasan yang diambil tanpa melalui peperangan terlebih dahulu) dan pelaksanaan hukum-hukum had dilakukan oleh imam, dan hal ini terus berlangsung tidak boleh seorangpun mencela mereka dan tidak boleh pula membantah mereka.

18. Memberikan zakat (shadaqah) kepada mereka dibolehkan dan teranggap, Barangsiapa yang yang memberikannya kepada mereka maka sudah cukup baginya, Imamnya baik ataupun fajir.

19. Shalat Jum’at di belakang Imam dan di belakang orang yang dipilih oleh Imam sudah cukup dan sempurna dan dilakukan dengan dua rakaat, Barangsiapa yang mengulang shalatnya maka dia adalah seorang ahlul bidah yang meninggalkan atsar dan menyelisihi Sunnah. Dia tidak mendapatkan keutamaan shalat Jum’at sedikitpun jika menganggap tidak boleh shalat dibelakang Imam yang baik ataupun yang dhalim, Sunnah mengajarkan untuk shalat bersama mereka dua rakaat, kita beragama dan meyakini ( 2/4 ) bahwa itu sudah sempurna jangan sampai ada suatu perasaan apapun dalam dadamu tentang masalah tersebut.

20. Barangsiapa yang memberontak kepada Imam kaum muslimin setelah mereka berkumpul dan mengakuinya sebagai khalifah, dengan cara apapun dengan ridha maupun dengan paksa, maka pemberontak itu telah memecahkan persatuan kaum muslimin dan menyelisihi atsar dari Rasulullah Shalallahu ’alaihi wasallam, kalau dia mati dalam keadaan memberontak maka dia mati dalam keadaan mati jahiliyah.

21. Tidak dihalalkan atas seorangpun memerangi sulthan atau memberontaknya, Barangsiapa yang melakukannya maka dia adalah mubtadi’ (Ahlul bid’ah), sudah tidak diatas Sunnah dan jalan yang lurus.

22. Memerangi para pencuri dan khawarij diperbolehkan jika mereka mengancam jiwa dan harta seseorang. Jika demikian seseorang dibolehkan untuk memeranginya dalam rangka membela jiwa dan hartanya sebatas kemampuannya, tapi dia tidak boleh mencari atau mengejar mereka jika mereka memisahkan diri atau meninggalkannya, tidak boleh seorangpun mengejarnya kecuali Imam atau pemerintah muslimin. Tapi yang diperbolehkan itu adalah membela dirinya ditempat kejadian, dan tidak berniat untuk membunuh seorangpun, kalau pencuri (khawarij ) tersebut mati** ditangannya ketika ia membela diri maka Allah akan menjauhkan orang yang terbunuh , dan kalau dia (yang bela diri ) yang terbunuh dalam keadaan membela diri dan hartanya, aku mengharapkan dia mati syahid sebagaimana dalam hadits-hadits, seluruh atsar dalam masalah ini (1/5) hanya menyuruh untuk memeranginya dan tidak memerintahkan untuk membunuh atau mengintainya, tidak diperbolehkan*** membunuhnya kalau dia tersungkur atau terluka, kalau menjadikannya sebagai tawanan juga tidak boleh dibunuh, dan jangan dihukum had olehnya sendiri, akan tetapi hendaknya urusan tersebut diserahkan kepada orang yang telah Allah tunjuk sebagai Imam (qadhi) untuk menghukumnya.

23. Kami tidak mempersaksikan (memastikan ) seorang ahlu qiblah dengan amalannya akan masuk syurga atau neraka. Kami mengharapkan orang yang shalih (untuk masuk syurga-pent.), dan kami juga mengkhawatirkan serta menakutkan orang yang berbuat jelek dan dosa (untuk masuk neraka,pent) dan kami mengaharapkan rahmat Allah untuknya.

24. Barangsiapa yang bertemu dengan Allah dengan membawa dosa yang bisa memasukkannya dalam neraka- tapi dia taubat tidak terus menerus melakukan dosanya- maka sesunguhnya Allah menerima taubat hambanya serta mema’afkan kejelekannya.

25. Barangsiapa yang bertemu dengan Allah dalam keadaan telah ditegakkan atasnya hukum had didunia maka itulah penghapus dosa baginya, sebagaimana telah ada khabar dari Rasulullah Shalallahu ’alaihi wasallam.

26. Barangsiapa yang bertemu dengan Allah dalam keadaan terus menerus melakukan dosa, dan tidak bertaubat dari dosa-dosa yang mengharuskan ia dihukum oleh Allah, maka urusannya dikembalikan kepada Allah, kalau Allah menghendaki Dia akan mengadzab orang tersebut dan jika tidak Allah akan mengampuninya.

27. Barangsiapa yang bertemu dengan Allah – dalam keadaan kafir – Allah akan mengadzabnya dan tidak ada ampunan baginya.

28. Rajam itu adalah haq (wajib) atas orang yang zina dan telah menikah, jika dia mengaku atau telah ada bukti yang kuat, Rasulullah Shalallahu ’alaihi wasallam telah merajam, demikian pula khulafaur rasyidin.

29. Barangsiapa yang menghina seorang saja dari shahabat Rasulullah Salallahu ’alaihiwasallam atau membencinya karena dosa, atau menyebutkan kejelekan-kejelekannya maka dia adalah ahlul bid’ah sampai dia bertarahum (mendoakan semoga Allah merahmati) kepada mereka semua dan hatinyapun selamat dari perasaan jelek kepada mereka.

30. Nifak adalah kufur, kufur kepada Allah dan menyembah selainnya. Serta menampakkan Islam dalam dhahirnya, seperti orang-orang munafik pada zaman Rasululah.

31. “Tiga perkara yang barangsiapa tiga perkara ini ada padanya berarti dia munafik ” dengan keras (mengancam), kita riwayatkan sebagaimana datangnya tidak kita kias-kiaskan. Dan sabdanya: (yang artinya) “Janganlah kalian kembali menjadi kafir jika aku telah wafat, sebagian kalian membunuh sebagian yang lainnya”, dan seperti : “Jika dua orang muslim berkelahi dengan membawa pedang mereka maka yang membunuh dan yang dibunuh masuk neraka”,

dan seperti : “Mencerca muslim adalah fasiq dan membunuhnya adalah suatu kekufuran”, dan seperti:
“Barangsiapa yang mengatakan kepada saudaranya “Ya kafir” maka sifat tersebut akan kembali (mengenai) salah seorang diantara keduanya”. Dan seperti :

“Kufur pada Allah melepaskan **** nasab walaupun sedikit”. Dan seperti hadits-hadits ini yang shahih dan dihapal, kita harus menerimanya walau tidak tahu tafsirnya (1/6) kita tidak mempersalahkan dan tidak pula memperdebatkannya, dan tidak kita tafsirkan kecuali dengan hadits yang lebih shahih dari itu.

Sorga dan neraka sudah diciptakan (sudah ada) sebagaimana dalam hadits Rasulullah Shalallahu ’alaihi wasallam bersabda :

“Aku masuk ke syorga akupun melihat istana disana, aku juga melihat alkautsar” dan “Aku lihat ke sorga akupun bisa melihat bahwa kebanyakan penduduk syorga adalah ini, dan aku lihat neraka dan aku lihat kebanyakan penghuninya adalah ini (Wanita-pent), Barangsiapa yang menyangka keduanya belum ada saat ini berarti dia telah mendustakan Al Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah Shalallahu ’alaihi wasallam dan aku tidak mengira (menganggap) orang ini beriman atas adanya syorga dan neraka.

Barangsiapa yang mati dari ahlul kiblat (muslim) dalam keadaan muwahid (bertauhid), dishalati jenazahnya dan dimintakan ampun untuknya, jangan sampai tidak dimintakan ampun dan jangan pula jenazahnya dibiarkan (tidak dishalati) hanya karena disebabkan melakukan dosa – baik yang dosa kecil ataupun besar- dan urusannya diserahkan kepada Allah Ta’ala.

Akhir risalah:

Walhamdulillahi wahdah, wa shalawatuhu ‘ala Muhammad wa alihi wasallam Taslima.

Telah mendengar seluruh risalah ini dari lafadz Syaikh Imam Abu Abdillah Yahya bin Abi Ali Hasan bin Ahmad Al Banna dengan riwayat dari dua orang tuanya Syaikh Imam Muhadzab abu Mudzfar Abdul Malik bin Ali bin Muhammad Alhamdani dia berkata : “Dengan ini aku beragama kepada Allah”, telah mendengar penulis pemilik nuskhah dan penulisnya Abdurrahman bin hibatullah bin Mi’rad alharani, ini terjadi diakhir bulan rabiul awal 529 H.

Alhamdulillah : Telah mendengarnya dari lafadzku anakku yang bernama Abu Bakar Abdullah dan saudaranya Badarudin Hasan dan ibunya Balbal bintu Abdullah dan telah mendengar pula sebagian risalah ini Abdul Hadi, Telah shahih (benar) hal ini terjadi pada hari senin 17 jumadil awal Th. 897 H, aku bolehkan bagi mereka untuk meriwayatkannya dariku dan juga seluruh yang aku riwayatkan dengan syaratnya. Yang menulis Yusuf Abdul Hadi.

Telah berkata penulisnya kepada dirinya sendiri Muhammad Nashiruddin Al albani:

Aku selesai menulisnya dari makhtutath khatiyah di Dhahiriyah Damaskus (Majmu 68 10-15). Sesaat sebelum dhuhur Rabu 6 Sya’ban 1373H.

Telah meletakkan catatan kaki ini bagian tahqiq majalah Al Mujahid

Jazakumullahukhairo, mudah-mudahan Allah menolong mereka dalam melawan musuh mereka dan musuhnya kaum muslmin.

Darul manar berharap orang yang membaca risalah ini untuk mendoakan mereka, shalallahuwasallama ‘ala Nabiyina Muhammad Shalallahu ’alaihi wasallam wa ‘ala alihi wa ashabihi ajmain.

(Dikutip dari buku terjemah kitab Ushulus Sunnah, karya Imam Ahmad bin Hanbal, Penerbit Darul Manar cet. 1 Th. 1411H. Penerjemah : Al Ustadz Abdur Rahman Mubarak Ata, Editor : Team Al Atsari, Cetakan pertama, September 1999, Penerbit : Pustaka Al Mubarak. Alamat : Kp. Cikalagan Rt 02/10 Cileungsi (Depan pasar Cileungsi) Bogor-Jabar 16820 Telp. (021) 823 5220) (Link URL :Salafy Online)

Ditulis Ulang Oleh: Andika Putra
Di Alamat: http://www.facebook.com/notes/andika-putra/ushulussunnah-imam-ahmad-bin-hanbal-rahimahullah/343373471956

BAHAYA MENGKAFIRKAN SESAMA MUSLIM

Sejarah Munculnya Fitnah Takfir Bila menengok sejarahnya, ternyata fitnah bermudah-mudahan (dalam) mengkafirkan seorang muslim ini telah lama ada, seiring dengan munculnya Khawarij, kelompok sesat pertama dalam Islam. Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah berkata: “Ia merupakan fitnah yang telah lama ada, yang diprakarsai oleh kelompok (sesat) dari kelompok-kelompok Islam pertama, yang dikenal dengan Khawarij.” (Fitnatut Takfir, hal. 12) Mereka telah berani mengkafirkan Khalifah 'Utsman bin 'Affan dan orang-orang yang bersamanya, mengkafirkan orang-orang yang memerangi 'Ali bin Abi Thalib dalam perang Jamal dan Shiffin, kemudian mengkafirkan semua yang terlibat dalam peristiwa Tahkim (termasuk di dalamnya 'Ali bin Abi Thalib), dan akhirnya mengkafirkan siapa saja yang tidak sepaham dengan mereka. (Diringkas dari Fathul Bari, karya Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-'Asqalani, 12/296-297)

Sebab Munculnya Fitnah Takfir Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah berkata: “Sejauh apa yang aku pahami, sebabnya kembali kepada dua perkara: - Dangkalnya ilmu dan kurangnya pemahaman tentang agama. - (Ini yang terpenting), memahami agama tidak dengan kaidah syar’iyyah (tidak mengikuti Sabilul Mukminin, jalannya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan para shahabatnya, pen). Siapa saja menyimpang dari (jalan) Jamaah yang dipuji oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam banyak sabdanya dan telah disebut oleh Allah ‘Azza wa Jalla (dalam Al-Qur'an), maka ia telah menentang Allah dan Rasul-Nya. Yang saya maksud adalah firman-Nya:
“Dan barangsiapa menentang Rasul setelah jelas baginya kebenaran dan mengikuti selain jalannya orang-orang mukmin , kami biarkan ia leluasa bergelimang dalam kesesatan dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (An-Nisa: 115)
Kemudian beliau berkata: “Dari sinilah banyak sekali kelompok-kelompok yang tersesat sejak dahulu hingga kini, karena mereka tidak mengikuti jalan orang-orang mukmin dan semata-mata mengandalkan akal, bahkan mengikuti hawa nafsu di dalam menafsirkan Al-Qur'an dan As-Sunnah, yang kemudian membuahkan kesimpulan-kesimpulan yang sangat berbahaya, dan akhirnya menyimpang dari jalan As-Salafush Shalih.” (Fitnatut Takfir, hal. 13)

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin menambahkan sebab ketiga, yaitu jeleknya pemahaman yang dibangun di atas jeleknya niat. (Fitnatut Takfir, hal. 19) Demikian pula Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan menambahkan sebab yang lain, yaitu adanya kecemburuan (ghairah) terhadap agama yang berlebihan atau semangat yang tidak pada tempatnya. (Zhahiratut-Tabdi’ Wat-Tafsiq Wat-Takfir Wa-Dhawabithuha, hal. 14)

--------------------------
-------------------------------------------------------------------------
KEHATI-HATIAN AHLUSSUNNAH WAL JAMA'AH DALAM MASALAH TAKFIR
---------------------------------------------------------------------------------------------------

Adapun Ahlus Sunnah Wal Jamaah, As-Salafiyyun adalah orang-orang yang sangat berhati-hati dalam masalah takfir. Merekalah yang sejak dahulu hingga kini memerangi fitnah dan pemikiran tersebut. Kitab-kitab dan fatwa-fatwa para ulama cukup sebagai bukti dan saksi, sehingga sangat ironis apa yang diopinikan oleh musuh-musuh Islam bahwa motor dari fitnah takfir ini adalah As-Salafiyyun.

Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata: “Ringkas kata, wajib bagi yang ingin mengintrospeksi dirinya agar tidak berbicara dalam masalah ini kecuali dengan ilmu dan keterangan dari Allah. Dan hendaknya berhati-hati dari perbuatan mengeluarkan seseorang dari Islam semata-mata dengan pemahamannya dan anggapan baik akalnya. Karena mengeluarkan seseorang dari Islam atau memasukkan seseorang ke dalamnya termasuk perkara besar dari perkara-perkara agama ini.” (Ad-Durar As-Saniyyah, 8/217, dinukil dari At-Tahdzir Minattasarru’ Fittakfir karya Muhammad bin Nashir Al-'Uraini, hal. 30)

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Pemberian vonis kafir dan fasiq bukan urusan kita, namun ia dikembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya. Karena ia termasuk hukum syariah yang referensinya adalah Al-Qur'an dan As-Sunnah. Maka wajib untuk ekstra hati-hati dan teliti dalam permasalahan ini, sehingga tidaklah seseorang dikafirkan dan dihukumi fasiq kecuali bila Al-Qur'an dan As-Sunnah telah menunjukkan kekafiran dan kefasikannya. Dan hukum asal bagi seorang muslim yang secara dzahir nampak ciri-ciri keislamannya adalah tetap berada di atas keislaman sampai benar-benar terbukti dengan dalil syar’i adanya sesuatu yang menghapusnya. Tidak boleh bermudah-mudahan dalam mengkafirkan seorang muslim atau menghukuminya sebagai fasiq.” (Al-Qawa’idul Mutsla Fi Shifatillahi wa Asma-ihil Husna, hal. 87-88)

Oleh karena itu, Ahlus Sunnah Wal Jamaah sangat berbeda dengan orang-orang Khawarij (Jamaah Takfir). Namun hal ini tidak menjadikan mereka seperti Murji’ah yang menyatakan bahwa kemaksiatan tidak berpengaruh sama sekali terhadap keimanan seseorang. Ahlus Sunnah wal Jamaah akan menjatuhkan vonis kafir tersebut (dengan tegas) kepada seseorang, setelah benar-benar terpenuhi syarat-syaratnya dan tidak ada lagi sesuatu yang dapat menghalangi dari vonis tersebut.

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Ada dua syarat (yang harus diperhatikan) untuk memvonis kafir seorang muslim.
-Pertama: Adanya dalil (syar’i) yang menjelaskan bahwa perbuatan tersebut merupakan bentuk kekafiran.
-Kedua: Vonis ini harus diberikan (secara tepat) kepada yang berhak mendapatkannya, yaitu seseorang yang benar-benar mengerti (menyadari) bahwa apa yang ia kerjakan merupakan suatu kekafiran dan ia sengaja dalam mengerjakannya. Jika seseorang tidak mengerti bahwa itu adalah suatu kekafiran, maka ia tidak berhak divonis kafir.
Dasarnya adalah firman Allah taala:
وَمَنْ يُشَاقِِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَ يَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّه مَا تَوَلَّى وَنُصْلِه جَهَنَّمَ وَسَآءَتْ مَصِيرًا
“Barangsiapa menentang Rasul setelah jelas baginya kebenaran, dan mengikuti selain jalannya orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa bergelimang dalam kesesatan dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (An-Nisa: 115)
وَمَا كَانَ اللهُ لِيُضِلَّ قَوْمًا بَعْدَ إِذْ هَدَاهُمْ حَتَّى يُبَيِّنَ لَهُمْ مَا يَتَّقُوْنَ
“Dan Allah sekali-kali tidak akan menyesatkan suatu kaum, sesudah Allah memberi petunjuk kepada mereka hingga dijelaskan-Nya kepada mereka apa yang harus mereka jauhi.” (At-Taubah: 115)
وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِيْنَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُوْلاً
“Dan Kami tidak akan mengadzab sebelum Kami mengutus seorang rasul.” (Al-Isra: 15)

Namun jika seseorang sangat berlebihan di dalam meninggalkan thalabul ilmi dan mencari kejelasan (tentang permasalahannya), maka ia tidak diberi udzur. Contohnya, ketika disampaikan kepada seseorang bahwa ia telah mengerjakan sebuah perbuatan kekafiran, namun ia tidak mau peduli dan tidak mau mencari kejelasan tentang permasalahannya, maka sungguh ketika itu ia tidak mendapat udzur. Namun jika seseorang tidak bermaksud untuk mengerjakan perbuatan kekafiran, maka ia tidak divonis kafir. Contohnya: - Seseorang yang dipaksa untuk mengerjakan kekafiran, namun hatinya tetap kokoh di atas keimanan. - Juga seseorang yang tidak sadar atas apa yang diucapkan baik disebabkan sesuatu yang sangat menggembirakannya ataupun yang lainnya, sebagaimana ucapan seseorang yang kehilangan untanya, kemudian ia berbaring di bawah pohon sambil menunggu kematian, ternyata untanya telah berada di dekat pohon tersebut. Lalu ia pun memeluknya seraya berkata: “Ya Allah, Engkau hambaku dan aku Rabb-Mu.” Orang ini salah mengucap karena sangat gembira. Namun bila seseorang mengerjakan kekafiran untuk gurauan (main-main) maka ia dikafirkan, karena adanya unsur kesengajaan di dalam mengerjakannya, sebagaimana yang dinyatakan oleh ahlul ilmi (para ulama). (Majmu’ Fatawa Wa Rasail Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, 2/125-126, dinukil dari Fitnatut Takfir, hal. 70-71)

------------------------------------------------------------------------------
KAFIRKAH BERHUKUM DENGAN SELAIN HUKUM ALLOH ?
------------------------------------------------------------------------------

Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah berkata: “Yang benar adalah bahwa berhukum dengan selain hukum Allah taala mencakup dua jenis kekafiran, kecil dan besar, sesuai dengan keadaan pelakunya. Jika ia yakin akan wajibnya berhukum dengan hukum Allah (dalam permasalahan tersebut) namun ia condong kepada selain hukum Allah dengan suatu keyakinan bahwa ??? karenanya ia berhak mendapatkan hukuman dari Allah, maka kafirnya adalah kafir kecil (yang tidak mengeluarkannya dari Islam-pen). Jika ia berkeyakinan bahwa berhukum dengan hukum Allah itu tidak wajib -dalam keadaan ia mengetahui bahwa itu adalah hukum Allah- dan ia merasa bebas untuk memilih (hukum apa saja), maka kafirnya adalah kafir besar (yang dapat mengeluarkannya dari Islam -pen). Dan jika ia sebagai seorang yang buta tentang hukum Allah lalu ia salah dalam memutuskannya, maka ia dihukumi sebagai seorang yang bersalah (tidak terjatuh ke dalam salah satu dari jenis kekafiran -pen).” (Madarijus Salikin, 1/336-337).

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata tentang tafsir Surat Al-Maidah ayat 44: “Berhukum dengan selain hukum Allah termasuk perbuatan Ahlul Kufur, terkadang ia sebagai bentuk kekafiran yang dapat mengeluarkan pelakunya dari Islam bila ia berkeyakinan akan halal dan bolehnya berhukum dengan selain hukum Allah tersebut dan terkadang termasuk dosa besar dan bentuk kekafiran (yang tidak mengeluarkan pelakunya dari Islam -pen), namun ia berhak mendapatkan adzab yang pedih.” (Taisirul Karimir Rahman, hal. 195).

Beliau juga berkata tentang tafsir Surat Al-Maidah ayat 45: “Ibnu 'Abbas berkata: Kufrun duna kufrin (kufur kecil -pen), zhulmun duna zhulmin (kedzaliman kecil -pen) dan fisqun duna fisqin (kefasikan kecil -pen). Disebut dengan zhulmun akbar (yang dapat mengeluarkan dari keislaman -pen) di saat ada unsur pembolehan berhukum dengan selain hukum Allah, dan termasuk dari dosa besar (yang tidak mengeluarkan dari keislaman -pen) ketika tidak ada keyakinan halal dan bolehnya perbuatan tersebut.” (Taisirul Karimir Rahman, hal. 196)

Asy-Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi rahimahulah berkata: “Ketahuilah, kesimpulan dari pembahasan ini adalah bahwa kekafiran, kedzaliman dan kefasikan dalam syariat ini terkadang maksudnya kemaksiatan dan terkadang pula maksudnya kekafiran yang dapat mengeluarkan dari keislaman. Barangsiapa tidak berhukum dengan hukum Allah sebagai wujud penentangan terhadap Rasul dan peniadaan terhadap hukum-hukum Allah, maka kedzaliman, kefasikan dan kekafirannya merupakan kekafiran yang dapat mengeluarkan dari keislaman. Dan barangsiapa tidak berhukum dengan hukum Allah dengan berkeyakinan bahwa ia telah melakukan sesuatu yang haram lagi jelek, maka kekafiran, kedzaliman dan kefasikannya tidak mengeluarkannya dari keislaman.” (Adhwa-ul Bayan, 2/104).

Asy-Syaikh Abdul 'Aziz bin Baz rahimahullah berkata: “Barangsiapa berhukum dengan selain hukum Allah maka tidak keluar dari empat keadaan:
1. Seseorang yang mengatakan: “Aku berhukum dengan hukum ini, karena ia lebih utama dari syariat Islam,” maka dia kafir dengan kekafiran yang besar.
2. Seseorang yang mengatakan: “Aku berhukum dengan hukum ini, karena ia sama (sederajat) dengan syariat Islam, sehingga boleh berhukum dengannya dan boleh juga berhukum dengan syariat Islam," maka dia kafir dengan kekafiran yang besar.
3. Seseorang yang mengatakan: “Aku berhukum dengan hukum ini namun berhukum dengan syariat Islam lebih utama, akan tetapi boleh-boleh saja untuk berhukum dengan selain hukum Allah,” maka ia kafir dengan kekafiran yang besar.
4. Seseorang yang mengatakan: “Aku berhukum dengan hukum ini," namun dia dalam keadaan yakin bahwa berhukum dengan selain hukum Allah tidak diperbolehkan. Dia juga mengatakan bahwa berhukum dengan syariat Islam lebih utama dan tidak boleh berhukum dengan selainnya. Tetapi dia seorang yang bermudah-mudahan (dalam masalah ini) atau dia kerjakan karena perintah dari atasannya, maka dia kafir dengan kekafiran yang kecil, yang tidak mengeluarkannya dari keislaman dan teranggap sebagai dosa besar. (Al-Hukmu Bighairima’anzalallahu wa Ushulut Takfir, hal. 71-72, dinukil dari At-Tahdzir Minattasarru’ Fittakfir, karya Muhammad bin Nashir Al-Uraini hal. 21-22)

Refleksi Terhadap Fenomena Takfir Fenomena takfir pun ternyata masih berlanjut hingga kini. Ia tak hanya menimpa para “aktivis,” bahkan orang-orang awam sekalipun tak luput darinya. Sampai-sampai tertanam suatu paradigma yang salah, bahwa siapa saja yang tidak berani mengkafirkan pemerintah-pemerintah kaum muslimin yang ada atau tokoh fulan dan fulan, maka masih diragukan kualitas militansinya. Bahkan fitnah ini pun dijadikan (oleh Jamaah Takfir dari berbagai macam jenisnya) sebagai media untuk memberontak terhadap pemerintah kaum muslimin dan sebagai landasan bolehnya mengadakan peledakan-peledakan di negeri-negeri kaum muslimin. Wallahul Musta’an.

Betapa ngerinya fitnah ini, padahal Rasulullah jauh-jauh hari telah memperingatkan dengan sabdanya:
إِذَا قَالَ الرَّجُلُ لِصَاحِبِهِ: يَا كَافِرُ, فَإِنَّهَا تَجِبُ عَلَى أَحَدِ هِمَا فَإِنْ كَانَ الَّذِي قِيْلَ لَهُ كَافِرًا فَهُوَ كَافِرٌ وَإِلاَّ رَجَعَ إِلَيْهِ مَا قَالَ
“Jika seorang lelaki berkata kepada kawannya: Wahai Kafir, maka sungguh perkataan itu mengenai salah satu dari keduanya. Bila yang disebut kafir itu memang kafir maka jatuhlah hukuman kafir itu kepadanya, namun bila tidak, hukuman kafir itu kembali kepada yang mengatakannya.” (HR. Ahmad dari shahabat Abdullah bin 'Umar, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Ahmad Syakir dalam tahqiqnya terhadap Musnad Al-Imam Ahmad no. 2035, 5077, 5259, 5824)

Buku-buku para tokoh Ikhwanul Muslimin dan Sururiyyah pun ternyata sangat berperan di dalam memicu berkembangnya fitnah ini. Asy-Syaikh Muhammad bin Nashir Al-'Uraini berkata: “Sesungguhnya di antara media terkuat yang mereka gunakan untuk menyebarkan pemikiran menyimpang lagi menyesatkan hamba-hamba Allah ini adalah buku-buku yang dihiasi dengan judul-judul yang menarik untuk mengesankan kepada para pembaca bahwa buku itu baik padahal isinya racun yang mematikan.” (At-Tahdzir Minat Tasarru Fittakfir, hal. 51).

Di antaranya Sayyid Quthub dalam Ma’alim Fith-Thariq, Fii Zhilalil Qur’an, Al-‘Adalah Al-Ijtima’iyyah ataupun Al-Islam Wamusykilatul Hadharah dsb. Sebagaimana yang disaksikan oleh tokoh-tokoh Ikhwanul Muslimin sendiri, seperti:
- Yusuf Al-Qardhawi, ia berkata: “Pada fase ini telah muncul buku-buku tulisan Sayyid Quthub yang merupakan pemikiran terakhirnya, yaitu pengkafiran masyarakat dan…, yang demikian itu nampak jelas dalam Tafsir Fii Zhilalil Qur’an cetakan ke-2, Ma’alim Fith Thariq yang kebanyakannya diambil dari Azh-Zhilal, dan Al-Islam Wamusykilatul Hadharah, dsb.” (Aulawiyyatul Harakah Al-Islamiyyah, hal 110. Dinukil dari Adhwa Islamiyyah, hal. 102)
- Farid Abdul Khaliq, ia berkata: “Telah kami singgung dalam pernyataan yang lalu bahwa pemikiran takfir (dewasa ini) bermula dari sebagian pemuda-pemuda Ikhwanul Muslimin yang meringkuk di LP Al-Qanathir di akhir-akhir tahun limapuluhan dan awal-awal tahun enampuluhan, yang mana mereka terpengaruh dengan pemikiran Sayyid Quthub dan karya-karya tulisnya. Mereka menimba dari karya-karya tulis tersebut bahwa masyarakat ini berada dalam kejahiliyyahan dan pemerintah-pemerintah yang ada ini kafir karena tidak berhukum dengan hukum Allah. Demikian pula rakyatnya karena kerelaan mereka terhadap selain hukum Allah itu.” (Al-Ikhwanul Muslimun fii Mizanil Haq, hal. 115. Dinukil dari Adhwa Islamiyyah, hal.103)

Demikian pula tulisan-tulisan Abul A’la Al-Maududi dalam Al-Usus Al-Akhlaqiyyah Lil Harakah Al-Islamiyyah, Muhammad Surur Zainal Abidin dalam Majalah As-Sunnah dan Manhajul Anbiya Fid Da’wati Ilallah, Safar Al-Hawali dalam Wa’d Kasenjer, Salman Al-'Audah dalam kaset Limadza Yakhafuna minal Islam? Humum Fataat Multazimah, Minhuna…Wahunaka, dan lain sebagainya. Oleh karena itu sudah seharusnya bagi kaum muslimin untuk menjauhkan diri dari buku-buku dan kaset-kaset tersebut, dan berusaha untuk menimba ilmu dari buku-buku dan kaset-kaset para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah yang bersih dari berbagai macam syubhat dan pemikiran menyimpang. Demikian pula toko-toko buku hendaknya tidak lagi menjual buku-buku tersebut, sebagaimana yang telah diserukan oleh Asy-Syaikh Zaid bin Muhammad bin Hadi Al-Madkhali di dalam kitabnya Al-Irhab Wa Atsaruhu 'Alal Afrad Wal Umam, hal. 128-142.
Di antara hal lain yang perlu dijadikan refleksi adalah tidak dipahaminya perbedaan antara takfir secara mutlak (umum) dengan takfir mu’ayyan (untuk orang tertentu), yang berakibat setiap ada yang mengatakan atau melakukan perbuatan kekafiran langsung divonis sebagai orang kafir dan dinyatakan telah keluar dari Islam. Para ulama rahimahumullah membedakan antara takfir secara mutlak dan takfir mu’ayyan. Mereka seringkali menyatakan takfir secara mutlak (umum), seperti: “Barangsiapa mengatakan atau melakukan perbuatan demikian dan demikian maka ia kafir (tanpa menyebut nama pelakunya).”Namun ketika masuk kepada takfir mu’ayyan (untuk orang-orang tertentu) maka mereka sangat berhati-hati. Karena tidak semua yang mengatakan atau melakukan perbuatan kekafiran berhak divonis kafir.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Suatu perkataan kadangkala termasuk dari bentuk kekafiran, maka pelakunya boleh dikafirkan secara umum, dengan dikatakan: 'Barangsiapa mengatakan demikian maka ia kafir (tanpa menyebut nama pelakunya -pen).' Namun untuk pribadi orang yang mengatakannya tidaklah langsung divonis kafir sampai benar-benar tegak (disampaikan) kepadanya hujjah.” (Fitnatut Takfir, hal. 49).

Beliau juga berkata: “Dan tidaklah setiap yang mengatakan kekafiran harus divonis kafir, sampai benar-benar terpenuhi syarat-syarat pengkafiran dan tidak ada lagi sesuatu yang menghalangi vonis tersebut. Misalnya seorang yang menyatakan: 'Sesungguhnya khamr atau riba itu halal,' dikarenakan ia baru masuk Islam (belum tahu ilmunya -pen), atau dikarenakan hidup di daerah yang sangat terpencil (tidak tersentuh dakwah -pen). Atau mengingkari suatu perkataan dalam keadaan ia tidak tahu bahwa itu dari Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam..., maka (orang demikian) tidak dikafirkan sampai benar-benar tegak (disampaikan) kepada mereka hujjah tentang risalah yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, sebagaimana firman Allah taala:
لِـئَلاَّ يـَكُـوْنَ لِلنَّا سِ عَلَى اللهِ حُجَّـةٌ بـَعْدَ الرُسُلِ
“Agar tidak ada alasan bagi manusia untuk membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu.” (An Nisaa’: 165). Dan Allah telah mengampuni segala kekeliruan dan kealpaan umat ini. (Majmu’ Fatawa, 35/165-166).

Wallahul a’lam bish shawab. Penutup Demikianlah apa yang bisa kami sampaikan tentang fitnah takfir dan bahayanya, berikut pula manhaj Ahlussunnah Wal Jamaah dalam masalah ini, serta beberapa refleksi dari fenomena takfir. Semoga Allah taala senantiasa menganugerahkan hidayah dan taufiq-Nya kepada kita, serta melindungi kita semua dari berbagai macam fitnah baik yang tampak maupun tidak tampak. Amiin, Ya Mujiibas Sailiin.

============================================================================================================================

Ditulis Ulang Oleh : Andika Putra
Di Alamat: http://www.facebook.com/notes/andika-putra/bahaya-mengkafirkan-sesama-muslim/339908566956

Sumber Asli:
Silahkan mengcopy dan memperbanyak artikel ini
dengan mencantumkan sumbernya yaitu : www.asysyariah.com

AQIDAH, RUH PERJUANGAN KITA

Bukanlah sesuatu yang diragukan oleh setiap orang yang berakal bahwa berdirinya sebuah bangunan dengan kokoh tanpa fondasi merupakan perkara yang mustahil. Demikian pula agama ini, betapa sulit menemukan -atau bahkan tidak ada- sosok seorang muslim yang mengagungkan syi’ar-syi’ar Islam dan menunaikan berbagai aturannya dengan konsisten kecuali mereka adalah sosok orang-orang yang beraqidah yang lurus.

Yang kita bicarakan bukanlah sekedar semangat tanpa ilmu ataupun gerakan yang tidak dilandasi oleh pertimbangan-pertimbangan yang matang. Namun yang sedang kita perbincangkan saat ini -di tengah situasi yang penuh dengan terpaan syubhat dan syahwat di atmosfer kehidupan kaum muslimin di berbagai belahan dunia- adalah kemunculan para pemuda yang membangun segala aktivitasnya di atas pedoman-pedoman agama yang bersumber dari Al Kitab dan As Sunnah dengan mengikuti pemahaman salafush shalih. Orang-orang yang meyakini bahwa setiap ucapan yang terlontar dari lisan mereka akan dicatat. Orang-orang yang meyakini bahwa setiap gerak-geriknya selalu diawasi oleh Allah subhanahu wa ta’ala, Raja Yang Menguasai Kerajaan langit dan bumi. Orang-orang yang melandasi langkah-langkahnya dengan niat ikhlas dan mengikuti ajaran Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Saudara-saudaraku sekalian, kebangkitan para pemuda yang menyimpan kekuatan iman laksana benteng yang kokoh di dalam jiwa dan raganya bukanlah sesuatu yang mustahil terjadi di masa seperti ini. Sebagaimana pula orang-orang di masa silam telah menyaksikan sosok para pemuda Kahfi yang dinyatakan oleh Allah tentang keadaan mereka yang patut kita teladani bersama, Allah berfirman yang artinya,

نَحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ نَبَأَهُمْ بِالْحَقِّ إِنَّهُمْ فِتْيَةٌ آَمَنُوا بِرَبِّهِمْ وَزِدْنَاهُمْ هُدًى

“Kami mengisahkan cerita mereka kepada kamu dengan benar, sesungguhnya mereka itu adalah para pemuda yang beriman kepada Rabb mereka, dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk.” (QS. Al Kahfi [18]: 13)

Sebagaimana pula di hari kiamat nanti Allah akan memberikan naungan-Nya kepada sosok pemuda yang tumbuh dalam aktivitas ibadah kepada Rabbnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang hal ini, “Ada tujuh golongan manusia yang akan mendapatkan naungan dari Allah di hari ketika tiada naungan kecuali naungan-Nya,..” di antaranya adalah, “Seorang pemuda yang tumbuh dalam beribadah kepada Allah.” (HR. Bukhari)

Kebangkitan para pemuda dari berbagai belahan dunia untuk membela agama ini dari penghinaan musuh-musuh-Nya adalah kabar gembira yang menyejukkan hati. Namun yang kita sayangkan adalah sebuah kebangkitan yang tidak menjadikan ilmu syar’i dan para ulama sebagai pemandu perjuangan mereka. Mereka bergerak dan bertindak tanpa koordinasi, tanpa perhitungan yang matang, membabi-buta dan serampangan. Maka muncullah berbagai aksi pengeboman di tempat-tempat umum, pembunuhan tanpa alasan, gerakan-gerakan rahasia untuk menghasut rakyat dalam rangka menggulingkan pemerintahan, bahkan tidak jarang kita dengar caci maki dan celaan pun mereka arahkan kepada manusia-manusia pewaris para nabi yaitu para ulama.

Saudara-saudaraku sekalian, para pemuda yang merindukan kejayaan Islam dan kaum muslimin di muka bumi ini, ketahuilah bahwa kejayaan yang kita dambakan tidak akan terwujud tanpa keikhlasan, kucuran keringat, perasan pikiran, ketundukan kepada Allah, dan tetesan air mata taubat dan penyesalan. Janganlah anda kira bahwa para sahabat dahulu bisa menang menaklukkan berbagai negeri dalam jangka waktu yang tidak lama, karena kekuatan materi yang mereka miliki. Janganlah anda kira sosok orang yang keras seperti Umar bin Khattab bisa masuk Islam dan menjadi pembelanya hanya semata-mata karena upaya dirinya sendiri ataupun ajakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun lebih dari itu semua, kemenangan, petunjuk dan ketegaran yang mereka miliki adalah berkat taufik dan anugerah dari Allah ta’ala yang diberikan-Nya kepada siapapun yang dikehendaki-Nya.

Allah ta’ala berfirman tentang Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ

“Sesungguhnya Kamu tidaklah bisa memberikan petunjuk kepada orang yang kamu senangi akan tetapi Allah yang memberikan petunjuk kepada siapa saja yang Allah kehendaki.” (QS. Al Qashash [28] : 56).

Oleh sebab itu Ibnul Qayyim mengatakan di dalam sebuah kitabnya, “Asas segala kebaikan adalah pengetahuan yang kamu miliki bahwa apa pun yang Allah kehendaki pasti terjadi dan apa yang tidak Allah inginkan tidak akan terjadi. Dengan demikian maka pastilah bahwasanya segala kebaikan adalah berkat dari nikmat-Nya, sehingga kamu pun wajib mensyukurinya dan merendahkan diri untuk memohon kepada-Nya agar Dia tidak memutus kenikmatan itu darimu. Dan juga menjadi terang bahwasanya segala keburukan itu timbul akibat tidak mendapatkan bantuan dari-Nya dan tertimpa hukuman-Nya. Oleh sebab itu segeralah kamu memohon kepada-Nya agar Dia menghalangimu supaya tidak terperosok ke sana. Dan juga mintalah kepada-Nya agar tidak membiarkan dirimu sendirian dalam melakukan kebaikan dan meninggalkan kejelekan. Semua orang yang mengenal Allah pun telah sepakat bahwa segala kebaikan maka sumbernya adalah karena taufik dari Allah kepada hamba. Dan mereka pun sepakat bahwa segala keburukan merupakan akibat hamba tidak mendapatkan pertolongan dari-Nya…” (Al Fawa’id, hal. 94).

Sesungguhnya perjuangan yang bisa mengantarkan generasi pendahulu umat ini menuju kejayaan bukan akibat kekarnya tubuh mereka, lengkapnya persenjataan mereka, atau harta mereka yang melimpah ruah di mana-mana. Akan tetapi karena Allah ta’ala melihat hati-hati mereka dan Allah menemukan bahwa hati mereka adalah hati-hati yang bersih dari syirik dan ketergantungan hati kepada selain-Nya, itulah hati sebaik-baik golongan manusia yang pernah hidup di jagat raya ini. Abdullah bin Mas’ud mengatakan, “Sesungguhnya Allah melihat hati para hamba. Dan Allah dapati hati Muhammad adalah sebaik-baik hati manusia maka Allah pun memilihnya untuk diri-Nya dan Allah bangkitkan dia sebagai pembawa risalah-Nya. Kemudian Allah melihat hati hamba-hamba yang lain setelah hati Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian Allah dapati bahwa hati para sahabatnya adalah sebaik-baik hati manusia. Maka Allah pun menjadikan mereka sebagai pembantu nabi-Nya dan berperang bersama beliau untuk membela agama-Nya…” (HR. Ahmad di dalam Musnadnya)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah di masaku (para sahabat), kemudian orang-orang sesudah mereka (tabi’in), kemudian orang-orang sesudah mereka (tabi’ut tabi’in).” (HR. Bukhari dan Muslim). Padahal kita telah mengetahui bersama bahwa baik dan buruk pada manusia dalam pandangan Allah bukanlah karena harta, pangkat, ataupun keelokan parasnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah tidaklah melihat kepada rupa ataupun harta yang kalian miliki. Akan tetapi Allah melihat hati dan amal kalian.” (HR. Muslim). Apakah akan kita katakan bahwa para sahabat itu hanya baik dari sisi lahirnya sementara hati mereka tidak ubahnya seperti hatinya Abdullah bin Ubay bin Salul (gembong munafikin)? Padahal Allah juga telah menegaskan di dalam kitab-Nya bahwa orang-orang yang senantiasa mengagungkan syi’ar-syi’ar-Nya -dan para sahabat adalah orang terdepan dalam hal itu- adalah orang-orang yang memendam ketakwaan di dalam lubuk hatinya. Allah ta’ala berfirman,

ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ

“Demikianlah, barangsiapa yang mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya hal itu muncul dari ketakwaan yang ada di dalam hati.” (QS. Al Hajj [22]: 32)

Ibnu Katsir menjelaskan di dalam tafsirnya bahwa yang dimaksud dengan syi’ar-syi’ar Allah adalah perintah-perintah-Nya. Dan salah satu bentuk mengagungkan syi’ar Allah adalah dengan mengagungkan hewan kurban. Hal itu sebagaimana tafsiran yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas yang mengatakan, “Yang dimaksud mengagungkannya adalah dengan memilih hewan kurban yang gemuk dan baik.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 5/310).

Nah, bagaimana mungkin akan kita katakan bahwa para sahabat yang tidak hanya memilihkan hewan kurban yang gemuk untuk berkurban; mereka rela menyumbangkan apa yang mereka punyai demi dakwah Islam, bahkan di antara mereka ada juga yang rela menyerahkan tubuhnya sendiri untuk menjadi sasaran anak panah demi melindungi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari anak panah orang-orang kafir dalam sebuah pertempuran, apakah akan kita katakan bahwa para sahabat adalah para penjahat yang bersikap laksana musang berbulu domba dan pengkhianat agama yang kembali menjadi kafir sesudah wafatnya Nabi? Bukankah Nabi sendiri telah bersabda dengan wahyu yang diwahyukan kepadanya, “Janganlah kalian mencela para sahabatku! Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya. Seandainya ada salah seorang di antara kalian yang berinfak dengan emas sebesar gunung Uhud, maka itu tidaklah bisa menyamai satu mud (satu genggam dua telapak tangan) infak mereka, tidak juga setengahnya.” (HR. Muslim)

Apakah yang membedakan tubuh kita dengan tubuh para sahabat? Mereka punya kaki, tangan dan indera sebagaimana yang kita miliki. Mereka mengeluarkan harta untuk berinfak dan kita pun mengeluarkannya. Mereka mengerjakan shalat, dan kita pun mengerjakannya seperti mereka. Mereka makan dan minum sebagaimana kita juga butuh makan dan minum. Namun, ketahuilah saudaraku, ternyata apa yang tertancap di dalam dada kita tidak sehebat dan sekokoh yang tertancap di dalam dada para sahabat. Mereka memiliki keimanan laksana gunung. Umar bin Khattab radhiyallahu’anhu mengatakan, “Seandainya iman yang dimiliki Abu Bakar ditimbang dengan iman segenap penduduk bumi (selain para nabi, pen), niscaya timbangannya lebih berat daripada timbangan iman mereka.” (HR. Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman). Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu mengatakan, “Barangsiapa di antara kalian yang ingin meniti sebuah jalan maka ikutilah jalan yang ditempuh oleh para ulama yang sudah meninggal itu yaitu para sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka adalah manusia-manusia terbaik dari umat ini. Hati mereka lebih baik, dan ilmu mereka lebih dalam, serta paling sedikit membeban-bebani diri. Suatu kaum yang telah dipilih oleh Allah untuk menemani Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mentransfer agama-Nya, maka tirulah akhlak dan jalan hidup mereka. Sebab mereka berada di atas petunjuk yang lurus.” (HR. Al Baghawi dalam Syarh As Sunnah)

Maka janganlah heran apabila kalian mendengar Anas bin Malik radhiyallahu’anhu mengatakan, “Sesungguhnya kalian benar-benar melakukan perbuatan-perbuatan yang dalam pandangan kalian sangat sepele dan ringan -lebih ringan daripada rambut-, padahal bagi kami yang hidup di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kami menganggapnya termasuk perkara yang mencelakakan.” (HR. Bukhari)

Lihatlah para sahabat dengan segenap kemuliaan yang mereka sandang -di antara mereka ada sepuluh orang yang dijamin masuk surga, dan seribu empat ratus orang lebih yang dijamin masuk surga- ternyata hati mereka sangatlah lembut dan mulia. Ibnu Abi Mulaikah menceritakan sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari di dalam Sahihnya, “Aku telah bertemu dengan tiga puluh orang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mereka semua merasa khawatir di dalam dirinya terjangkit kemunafikan.” Bandingkanlah dengan kondisi sebagian kita pada hari ini; yang dengan mudah mengerjakan hal-hal yang makruh, yang dengan ringan meninggalkan sebagian kewajiban dengan alasan-alasan yang dibuat-buat, yang dengan enteng meninggalkan perkara sunnah, yang dengan santai menyia-nyiakan kesempatan untuk meraih perkara yang lebih utama. Aduhai, betapa jauhnya derajat kita dengan mereka laksana jauhnya langit dengan bumi!

Para sahabat adalah orang-orang yang sangat mudah menerima nasihat. Hal itu dapat kita ketahui dalam hadits yang diriwayatkan oleh Irbadh bin Sariyah. Dia menceritakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menasihati kami dengan sebuah nasihat menyentuh yang membuat hati-hati bergetar dan mata mencucurkan air mata…” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi). Inilah hatinya orang-orang yang benar-benar beriman. Hati yang bergetar ketika disebutkan kebesaran Allah dan ayat-ayat-Nya. Allah ta’ala berfirman,

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آَيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُون

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah orang-orang yang apabila disebutkan nama Allah hati mereka bergetar, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya maka iman mereka bertambah. Dan mereka hanya bertawakal kepada Rabb mereka.” (QS. Al Anfal [8]: 2)

Para sahabat adalah orang-orang yang sangat bersemangat dalam meraih kebaikan. Mereka berlomba-lomba dengan segala kemampuan yang ada untuk bisa meraih ketinggian derajat di sisi-Nya. Karena mereka sadar bahwa kemuliaan di sisi Allah adalah dinilai dengan ketakwaan, bukan dengan uang, kecantikan, jabatan, banyaknya relasi ataupun popularitas. Allah ta’ala berfirman,

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُم

“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa di antara kalian.” (QS. Al Hujurat [49]: 13)

Salah seorang di antara mereka datang kepada Rasulullah dan mengatakan, “Wahai Rasulullah, tunjukkanlah kepada saya suatu amalan yang membuat saya dicintai Allah dan disukai oleh manusia…”(HR. Ibnu Majah). Di waktu yang lain ada juga yang berkata kepada beliau, “Wahai Rasulullah katakanlah kepadaku suatu ucapan dalam Islam ini yang tidak akan aku tanyakan kepada selainmu…”(HR. Muslim). Ada lagi yang berkata kepada beliau, “Wahai Rasulullah, tunjukkanlah kepada saya suatu amalan yang bisa memasukkan saya ke dalam surga dan menjauhkan saya dari api neraka…”(HR. Tirmidzi). Orang-orang yang tidak berharta di antara mereka pun ingin beramal sebagaimana orang yang kaya di antara mereka. Mereka mengatakan, “Orang-orang kaya memborong pahala. Padahal mereka shalat sebagaimana kami shalat. Mereka berpuasa sebagaimana kami berpuasa, namun mereka bisa bersedekah dengan kelebihan harta mereka (sedangkan kami tidak, pen)..” (HR. Muslim). Lihatlah betapa tinggi cita-cita mereka!

Para sahabat adalah orang-orang yang menjunjung tinggi sabda-sabda dan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ibnu Abbas mengatakan, “Hampir-hampir saja turun hujan batu dari langit kepada kalian; aku katakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda demikian, namun kalian justru mengatakan bahwa Abu Bakar dan Umar berkata lain!” (HR. Abdur Razzaq). Bandingkanlah dengan keadaan sebagian orang pada masa belakangan ini yang menolak hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan dalih bertentangan dengan akal, bahkan ada lagi yang berani menuduh -hadits yang disepakati para ulama tentang keabsahannya- sebagai hadits yang bertentangan dengan ayat al-Qur’an; sehingga mereka mengatakan bahwa anjing tidak haram dimakan?. Ada pula orang-orang yang tidak paham ilmu hadits menolak hadits-hadits ahad dalam masalah aqidah dengan alasan hadits ahad tidak menghasilkan ilmu yakin. Wahai kaum muslimin, kekhilafahan, daulah dan ketenteraman seperti apakah yang kalian dambakan jika para pejuangnya masih belepotan dengan kerancuan pemikiran dan penyimpangan manhaj (metode dalam berislam) semacam ini?!

Para sahabat adalah orang-orang yang mengimani nama-nama dan sifat-sifat Allah sebagaimana adanya, tanpa menolak, tanpa menyelewengkan dan tanpa menyerupakan. Oleh sebab itu ketika ditanya tentang makna istiwa’ Imam Malik mengatakan, “Istiwa’ sudah dimengerti maknanya. Namun tata caranya tidak diketahui, dan menanyakan tentang caranya adalah bid’ah.” (HR. Al Baghawi dalam Syarh As Sunnah)

Ini semua menunjukkan kepada kita -wahai umat Islam yang hidup di sepanjang jaman- bahwa kemenangan dan keberhasilan yang digapai oleh para sahabat bukan semata-mata karena tajamnya pedang mereka, keberanian mereka yang sangat luar biasa, ataupun persatuan mereka yang kokoh dan erat. Namun lebih daripada itu semua, keberhasilan yang mereka raih terlahir dari pengagungan hati mereka kepada Sang Penguasa alam semesta Allah subhanahu wa ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ingatlah bahwa di dalam tubuh terdapat segumpal daging. Kalau ia baik, maka baiklah seluruh anggota badan. Dan kalau ia rusak, maka rusaklah seluruh anggota badan. Ketahuilah ia adalah jantung.” (HR. Bukhari dan Muslim). Demikianlah pentingnya hati bagi amalan, ibarat jantung bagi anggota badan.

Maka sekarang kita akan bertanya kepada diri kita masing-masing: Di tengah derasnya gelombang dekadensi moral dan kerusakan akhlak, perancuan akidah dan penyesatan pikiran yang melanda umat Islam di negeri ini, apakah ada sosok para pemuda yang giat mempelajari aqidah Islam dan membelanya dari serangan musuh-musuh-Nya. Dia tekuni buku-buku aqidah yang ditulis para ulama; Tsalatsatul Ushul, Qawa’idul Arba’, Kasyfu Syubuhat, Kitabut Tauhid, Fathul Majid dan lain sebagainya untuk memperbaiki dirinya dan kemudian dia gunakan untuk menyadarkan hati kaum muslimin dari tidur panjang mereka, membangkitkan kesadaran mereka untuk kembali kepada kemuliaan Islam yaitu dengan berpegang teguh dengan al-Qur’an dan as-Sunnah dengan pemahaman para sahabat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah akan mengangkat derajat sebagian kelompok dengan sebab Kitab ini (Al Qur’an) dan Allah juga akan merendahkan sebagian yang lainnya karenanya.” (HR. Muslim)

Apakah sekarang kita bisa memimpikan berdirinya sebuah Negara Islam yang berhukum dengan al-Qur’an dan as-Sunnah dalam segala sisi kehidupan, sementara dalam urusan pakaian saja banyak sekali di antara kaum muslimin yang belum mengerti pakaian yang sesuai dengan syariat -terlebih khusus kaum muslimah-? Apakah kita sekarang bisa mengangankan tegaknya daulah Islam apabila ternyata di tengah-tengah kita pornografi, kemaksiatan, perbuatan keji, kebid’ahan, dan kesyirikan dikerjakan dengan terang-terangan di mana-mana? Apakah sekarang kita bisa merindukan berdirinya sebuah kekhilafahan sebagaimana kekhilafahan Umar bin Abdul Aziz yang sangat keras dalam menegakkan keadilan, padahal di antara kita kezaliman yang paling besar yaitu syirik dibiarkan bahkan dipromosikan melalui berbagai media dan sarana? Apakah kita sekarang bisa mencita-citakan terjadinya perdamaian dan kehidupan yang tenteram, sementara orang-orang yang merusak aqidah umat Islam dan mengobrak-abrik fondasi-fondasi agama berkeliaran dan mengumbar racun-racun pemikiran sehingga memisahkan tubuh kaum muslimin dari ruh mereka? Lihatlah apa yang telah mereka perbuat: Mereka bela mati-matian aliran-aliran sesat demi mengatasnamakan toleransi palsu dan kebebasan ala Iblis yang berani menolak perintah Tuhannya. Seolah-olah mereka mengatakan kepada kita: Silakan kalian bersyahadat namun yakinilah Islam sebagaimana keyakinan Abdullah bin Ubay bin Salul (gembong munafikin)!

Melihat fenomena penyimpangan aqidah yang begitu marak akhir-akhir ini apakah para penggerak dakwah di berbagai penjuru negeri ini tidak tersadar bahwasanya memang sumber kerusakan bangsa ini adalah kerusakan aqidah dan akhlak mereka kepada Rabbnya. Sehingga sudah selayaknya mereka bersatu padu dan bahu membahu membersihkan bumi pertiwi ini dari sampah-sampah kesyirikan, pemikiran liberal dan aliran-aliran sesat lagi menyimpang. Adakah seorang muslim yang mengatakan bahwa orang yang mempersekutukan Allah dalam beribadah sebagai orang yang berakhlak? Adakah seorang mukmin yang mengatakan bahwa orang yang berpendapat bahwa kita tidak wajib mengikuti syariat Nabi Muhammad adalah orang yang berakhlak?

Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ‘ala aalihi wa shahbihi wa sallam

Ditulis Ulang Oleh : Andika Putra
Di Alamat: http://www.facebook.com/notes/andika-putra/aqidah-ruh-perjuangan-kita/336935226956


Tulisan dan Sumber Asli:
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Muroja’ah: Ustadz Aris Munandar
Artikel www.muslim.or.id

SYUBHAT-SYUBHAT SEKITAR MASALAH DEMOKRASI DAN PEMUNGGUTAN SUARA

SYUBHAT-SYUBHAT SEKITAR MASALAH DEMOKRASI DAN PEMUNGGUTAN SUARA
Oleh
Ustadz Abu Ihsan al-Maidani al-Atsari
--------------------------
-----------------------------------------------------------------------------------------------

Pemungutan suara atau voting sering digunakan oleh lembaga-lembaga atau organisasi-organisasi baik skala besar seperti sebuah negara maupun kecil seperti sebuah perkumpulan, di dalam mengambil sebuah sikap atau di dalam memilih pimpinan dan lain-lain. Sepertinya hal ini sudah lumrah dilangsungkan. Hingga dalam menentukan pimpinan umat harus dilakukan melalui pemungutan suara, dan tentu saja masyarakat umumpun dilibatkan di dalamnya. Padahal banyak di antara mereka yang tidak tahu menahu apa dan bagaimana kriteria seorang pemimpin menurut Islam.

Dengan cara dan praktek seperti ini bisa jadi seorang yang tidak layak menjadi pemimpin keluar sebagai pemenangnya. Adapun yang layak dan berhak tersingkir atau tidak dipandang sama sekali ! Tentu saja metoda pemungutan suara seperti ini tidak sesuai menurut konsep Islam, 'yang menekankan konsep syura (musyawarah) antara para ulama dan orang-orang shalih. Allah telah berfirman dalam Kitab-Nya:

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan menyuruh kamu menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkannya dengan adil.[An-Nisaa : 58]

Kepemimpinan adalah sebuah amanat yang amat agung, yang menyangkut aspek-aspek kehidupan manusia yang amat sensitif. Oleh sebab itu amanat ini harus diserahkan kepada yang berhak menurut kaca mata syariat. Proses pemungutan suara bukanlah cara/wasilah yang syar'i untuk penyerahan amanat tersebut. Sebab tidak menjamin penyerahan amanat kepada yang berhak. Bahkan di atas kertas dan di lapangan terbukti bahwa orang-orang yang tidak berhaklah yang memegang (diserahi) amanat itu. Di samping bahwa metoda pemungutan suara ini adalah metoda bid'ah yang tidak dikenal oleh Islam. Sebagaimana diketahui bahwa tidak ada satupun dari Khulafaur Rasyidin yaitu: Abu Bakar, Umar, Ustman dan Ali radhiyallahu 'anhum maupun yang sesudah mereka, yang dipilih atau diangkat menjadi khalifah, melalui cara pemungutan suara yang melibatkan seluruh umat.

Lantas dari mana sistem pemungutan suara ini berasal ?! Jawabnya: tidak lain dan tidak bukan ia adalah produk demokrasi ciptaan Barat (baca kafir).

Ada anggapan bahwa pemungutan suara adalah bagian dari musyawarah. Tentu saja amat jauh perbedaannya antara musyawarah mufakat menurut Islam dengan pemungutan suara ala demokrasi di antaranya:

[1] Dalam musyawarah mufakat, keputusan ditentukan oleh dalil-dalil syar'i yang menempati al-haq walaupun suaranya minoritas.

[2] Anggota musyawarah adalah ahli ilmu (ulama) dan orang-orang shalih, adapun di dalam pemungutan suara anggotanya bebas siapa saja.

[3] Musyawarah hanya perlu dilakukan jika tidak ada dalil yang jelas dari al-Kitab dan as-Sunnah. Adapun dalam pemungutan suara, walaupun sudah ada dalil yang jelas seterang matahari, tetap saja dilakukan karena yang berkuasa adalah suara terbanyak, bukan al-Qur'an dan as-Sunnah.

MAKNA PEMUNGUTAN SUARA

Pemungutan suara maksudnya adalah: pemilihan hakim atau pemimpin dengan cara mencatat nama yang terpilih atau sejenisnya atau dengan voting. Pemungutan suara ini, walaupun bermakna: pemberian hak pilih, tidak perlu digunakan di dalam syariat untuk pemilihan hakim/pemimpin. Sebab ia berbenturan dengan istilah syar'i yaitu syura (musyawarah). Apalagi dalam istilah pemungutan suara itu terdapat konotasi haq dan batil. Maka penggunaan istilah pemungutan suara ini jelas berseberangan jauh dengan istilah syura. Sehingga tidak perlu menggunakan istilah tersebut, sebab hal itu merupakan sikap latah kepada mereka.

MAFSADAT PEMUNGUTAN SUARA

Amat banyak kerusakan-kerusakan yang ditimbulkan dari cara pemungutan suara ini di antaranya:

[1]. Termasuk perbuatan syirik kepada Allah.
[2]. Menekankan suara terbanyak.
[3]. Anggapan dan tuduhan bahwa dinul Islam kurang lengkap.
[4]. Pengabaian wala' dan bara'.
[5]. Tunduk kepada Undang-Undang sekuler.
[6]. Mengecoh (memperdayai) orang banyak khususnya kaum Muslimin.
[7]. Memberikan kepada demokrasi baju syariat.
[8]. Termasuk membantu dan mendukung musuh musuh Islam yaitu Yahudi dan Nashrani.
[9]. Menyelisihi Rasulullah dalam metoda menghadapi musuh.
[10]. Termasuk wasilah yang diharamkan.
[11]. Memecah belah kesatuan umat.
[12]. Menghancurkan persaudaraan sesama Muslim.
[13]. Menumbuhkan sikap fanatisme golongan atau partai yang terkutuk.
[14] Menumbuhkan pembelaan membabi buta (jahiliyah) terhadap partai-partai di golongan mereka.
[15]. Rekomendasi yang diberikan hanya untuk kemaslahatan golongan.
[16]. Janji janji tanpa realisasi dari para calon hanya untuk menyenangkan para pemilih.
[17]. Pemalsuan-pemalsuan dan penipuan-penipuan serta kebohongan-kebohongan hanya untuk meraup simpati massa.
[18]. Menyia-nyiakan waktu hanya untuk berkampanye bahkan terkadang meninggalkan kewajiban (shalat dan lain-lain).
[19]. Membelanjakan harta tidak pada tempat yang disyariatkan.
[20]. Money politic, si calon menyebarkan uang untuk mempengaruhi dan membujuk para pemilih.
[21]. Terperdaya dengan kuantitas tanpa kualitas.
[22]. Ambisi merebut kursi tanpa perduli rusaknya aqidah.
[23]. Memilih seorang calon tanpa memandang kelurusan aqidahnya.
[24]. Memilih calon tanpa perduli dengan syarat syarat syar'i seorang pemimpin.
[25]. Pemakaian dalil-dalil syar'i tidak pada tempatnya, di antaranya adalah ayat-ayat syura yaitu Asy-Syura': 46.
[26] .Tidak diperhatikannya syarat-syarat syar'i di dalam persaksian, sebab pemberian amanat adalah persaksian.
[27]. Penyamarataan yang tidak syar'i, di mana disamaratakan antara wanita dan pria, antara seorang alim dengan si jahil, antara orang-orang shalih dan orang-orang fasiq, antara Muslim dan kafir.
[28]. Fitnah wanita yang terdapat dalam proses pemungutan suara, di mana mereka boleh dijadikan sebagai salah satu calon! Padahal Rasulullah telah bersabda: "Tidak beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada kaum wanita". [Hadits Riwayat Bukhari dari Abu Bakrah]
[29]. Mengajak manusia untuk mendatangi tempat-tempat pemalsuan.
[30]. Termasuk bertolong-tolongan dalam berbuat dosa dan pelanggaran.
[31]. Melibatkan diri dalam perkara yang sia-sia dan tidak bermanfaat.
[32]. Janji-janji palsu dan semu yang disebar.
[33]. Memberi label pada perkara-perkara yang tidak ada labelnya seperti label partai dengan partai Islam, pemilu Islami, kampanye Islami dan lain-lain.
[34]. Berkoalisi atau beraliansi dengan partai-partai menyimpang dan sesat hanya untuk merebut suara terbanyak.
[35]. Sogok-menyogok dan praktek-praktek curang lainnya yang digunakan untuk memenangkan pemungutan suara.
[36]. Pertumpahan darah yang kerap kali terjadi sebelum atau sesudah pemungutan suara karena memanasnya suasana pasca pemungutan suara atau karena tidak puas karena kalah atau merasa dicurangi.

Sebenarnya masih banyak lagi kerusakan-kerusakan yang ditimbulkan akibat dari proses pemungutan suara ini. Kebanyakan dari kerusakan-kerusakan yang disebutkan tadi adalah suatu yang sering nampak atau terdengar melalui media massa atau lainnya !

Lalu apakah pantas seorang Muslim -apalagi seorang salafi- ikut-ikutan latah seperti orang-orang jahil tersebut ?!

Sungguh sangat tidak pantas bagi seorang Muslim salafi yang bertakwa kepada Rabb-Nya melakukan hal itu, padahal ia mendengar firman Rabb-Nya:

Maka apakah patut bagi Kami menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa (kafir). Mengapa kamu berbuat demikian ? Bagaimanakah kamu membuat keputusan ? [Al-Qalam: 35-36]

Pada saat bangsa ini sedang menghadapi bencana, yang seharusnya mereka memperbaiki kekeliruannya adalah dengan kembali kepada dien yang murni sebagaimana firman Allah

Telah nampak kerusakan di daratan dan di lautan disebabkan buah tangan perbuatan manusia agar mereka merasakan sebagian perbuatan mereka dan agar mereka kembali. [Ar-Ruum: 41]

Yaitu, agar mereka kembali kepada dien ini sebagaimana sabda Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam:

Jika kalian telah berjual beli dengan sistem 'inah dan kalian telah mengikuti ekor-ekor sapi, telah puas dengan bercocok tanam dan telah kalian tinggalkan jihad, maka Allah akan menimpakan atas kalian kehinaan; tidak akan kembali (kehinaan) dan kalian hingga kalian kembali ke dien kalian.

Kembali kepada dien yang murni itulah solusinya, kembali kepada nilai-nilai tauhid yang murni, mempelajari dan melaksanakan-melaksanakan konsekuensi-konsekuensinya, menyemarakkan as-Sunnah dan mengikis bid'ah dan mentarbiyah ummat di atas nilai tauhid. Da'wah kepada jalan Allah itulah jalan keluarnya, dan bukan melalui kotak suara atau kampanye-kampanye semu! Tetapi realita apa yang terjadi??

Para Du'at (da'i) sudah berubah profesi, kini ia menyandang predikat baru, yaitu juru kampanye (jurkam), menyeru kepada partainya dan bukan lagi menyeru kepada jalan Allah. Menebar janji-janji; bukan lagi menebar nilai-nilai tauhid. Sibuk berkampanye baik secara terang-terangan maupun terselubung. Bukan lagi berdakwah, tetapi sibuk mengurusi urusan politik padahal bukan bidangnya dan ahlinya- serta tidak lagi menuntut ilmu.

Mereka berdalih: "Masalah tauhid memang penting akan tetapi kita tidak boleh melupakan waqi' (realita)."

Waqi' (realita) apa yang mereka maksud ? Apakah realita yang termuat di koran-koran, majalah-majalah, surat kabar-surat kabar ? -karena itulah referensi mereka- atau realita umat yang masih jauh dari aqidah yang benar, praktek syirik yang masih banyak dilakukan, atau amalan bid'ah yang masih bertebaran. Ironinya hal ini justru ada pada partai-partai yang mengatas namakan Islam ! Wallahul Musta'an

Mereka ngotot untuk tetap ikut pemungutan suara, agar dapat duduk di kursi parlemen. Dan untuk mengelabuhi umat merekapun melontarkan beberapa syubhat!

SYUBHAT-SYUBHAT DAN BANTAHANNYA

[1]. Mereka mengatakan: Bahwa sistem demokrasi sesuai dengan Islam secara keseluruhan. Lalu mereka namakan dengan syura (musyawarah) berdalil dengan firman Allah

" Artinya :Dan urusan mereka dimusyawarahkan di antara mereka".[Asy-Syuura : 38]

Lalu mereka bagi demokrasi menjadi dua bagian yang bertentangan dengan syariat dan yang tidak bertentangan dengan syariat.

Bantahan:
Tidak samar lagi batilnya ucapan yang menyamakan antara syura menurut Islam dengan demokrasi ala Barat. Dan sudah kita cantumkan sebelumnya tiga perbedaan antara syura dan demokrasi !

Adapun yang membagi demokrasi ke dalam shahih (benar) dan tidak shahih adalah pembagian tanpa dasar, sebab istilahnya sendiri tidak dikenal dalam Islam.

"Artinya : Yang demikian itu tentulah suatu pembagian yang tidak adil. Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak-bapak kamu mengada-adakannya; Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun untuk, (menyembah)-nya. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka, dan sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Tuhan mereka" [An-Najm : 22-23]

[2]. Mereka mengatakan: Bahwa pemungutan suara sudah ada pada awal-awal Islam, ketika Abu Bakar, Umar, Ustman radhiyallahu 'anhum telah dipilih dan dibaiat. [Lihat kitab syari'atul intikhabat hal.15]

Bantahan:
Ucapan mereka itu tidak benar karena beberapa sebab:

[a] Telah jelas bagi kita semua kerusakan yang ditimbulkan oleh pemungutan suara seperti kebohongan, penipuan, kedustaan, pemalsuan dan pelanggaran syariat lainnya. Maka amat tidak mungkin sebaik-baik kurun melakukan praktek-praktek seperti itu.
[b] Para sahabat (sebagaimana yang dimaklumi dan diketahui di dalam sejarah) telah bermufakat dan bermusyawarah tentang khalifah umat ini sepeninggal Rasul.

Dan setelah dialog yang panjang di antaranya ucapan Abu Bakar as-Sidiq yang membawakan sebuah hadits yang berbunyi: "Para imam itu adalah dari bangsa Quraisy." Lalu mereka bersepakat membaiat Abu Bakar sebagai khalifah. Tidak diikutsertakan seorang wanitapun di dalam musyawarah tersebut.

Kemudian Abu Bakar mewasiatkan Umar sebagai khalifah setelah beliau, tanpa ada musyawarah.

Kemudian Umar menunjuk 6 orang sebagai anggota musyawarah untuk menetapkan salah seorang di antara mereka untuk menjadi khalifah. Keenam orang itu termasuk 10 orang sahabat Rasulullah yang dijamin masuk surga. Adapun sangkaan sebagian orang bahwa Abdurrahman bin Auf menyertakan wanita dalam musyawarah adalah tidak benar.

Di dalam riwayat Bukhari tidak disebutkan di dalamnya penyebutan musyawarah Abdurrahman bin Auf bersama wanita dan tidak juga bersama para tentara. Bahkan yang tersebut di dalam riwayat Bukhari tersebut, Abdurrahman bin Auf mengumpulkan 5 orang yang telah ditunjuk Umar yaitu Ustman, Ali, Zubair, Thalhah, Saad dan beliau sendiri (lihat Fathul Bari juz 7 hal. 61,69), Tarikhul Islam karya Az-Zahabi (hal. 303), Ibnu Ashir dalam thariknya (3/36), Ibnu Jarir at-Thabari dalam Tarikhkul Umam (4/431). Adapun yang disebutkan oleh Imam Ibnu Isuji di dalam Kitabnya al-Munthadam riwayatnya dhaif.

Dan yang disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wa Nihayah (4/151) adalah riwayat tanpa sanad, tidak dapat dijadikan sandaran.

Kesimpulannya:
[a] Berdasarkan riwayat yang shahih Abdurrahman bin Auf hanya bermusyawarah dengan 5 orang yang ditunjuk Umar.
[b] Dalam riwayat yang shahih disebutkan bahwa Abdurrahman bin Auf juga mengajak bertukar pendapat dengan sahabat lainnya.
[c] Adapun penyertaan wanita di dalam musyawarah adalah tidak benar sebab riwayatnya tidak ada asalnya.

[3] Mereka mengatakan: Ini adalah masalah ijtihadiyah'

Bantahan:
Apa yang dimaksud dengan masalah ijtihadiyah ? Jika mereka katakan: yaitu masalah baru yang tidak dikenal di massa wahyu dan khulafaur rasyidin.

Maka jawabannya:
[a] Ucapan mereka ini menyelisihi atau bertentangan dengan ucapan sebelumnya yaitu sudah ada pada awal Islam.
[b] Memang benar pemungutan suara ini tidak ada pada zaman wahyu, tetapi bukan berarti seluruh perkara yang tidak ada pada zaman wahyu ditetapkan hukumnya dengan ijtihad. Dalam masalah ini ulama menetapkan hukum setiap masalah berdasarkan kaedah-kaedah usul dan kaedah-kaedah umum. Dan untuk masalah pemungutan suara ini telah diketahui kerusakan-kerusakannya.

Jika dikatakan: yang kami maksud masalah ijtihadiyah adalah masalah yang belum ada dalil al-Kitab dan as-Sunnah. Maka jawabannya sama seperti jawaban kami yang telah lalu.

Jika dikatakan masalah ijtihadiyah artinya: kami mengetahui keharamannya, tetapi kami memandang ikut serta di dalamnya untuk mewujudkan maslahat. Maka jawabannya: kalau ucapan itu benar, maka pasti sudah ada buktinya semenjak munculnya pemikiran seperti ini. Di negara-negara Islam tidak pernah terwujud maslahat tersebut, bahkan hanya kembali dua sepatu usang (gagal).

Sedang Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam bersabda:

"Artinya : Seorang Mukmin tidaklah disengat 2 kali dari satu lubang" [Mutafaqun alaih]

Jika dikatakan masalah ijtihadiyah adalah masalah yang diperdebatkan dan diperselisihkan di kalangan ulama serta bukan masalah ijma'.

Maka jawabannya:
[a] Coba tunjukkan perselisihan di kalangan ulama yang mu'tabar (dipercaya) yang dida'wakan itu. Tentu saja mereka tidak akan mendapatkannya.
[b] Yang dikenal di kalangan ulama, bahwa yang dimaksud khilafiyah atau masalah yang diperdebatkan, yaitu : jika kedua pihak memiliki alasan atau dalil yang jelas dan dapat diterima sesuai kaedah. Sebab kalau hanya mencari masalah khilafiyah, maka tidak ada satu permasalahanpun melainkan di sana ada khilaf atau perbedaan pendapat. Akan tetapi banyak di antara pendapat-pendapat itu yang tidak mu'tabar.

[4]. Mereka mengatakan: Bahwa pemungutan suara tersebut termasuk maslahat mursalah.

Bantahannya:
[a] Maslahat mursalah bukanlah sumber asli hukum syar'i, tapi hanyalah sumber taba'i (mengikut) yang tidak dapat berdiri sendiri. Maslahat mursalah hanyalah wasilah yang jika terpenuhi syaratsyaratnya, baru bisa diamalkan.
[b] Menurut defisinya maslahat mursalah itu adalah: apa-apa yang tidak ada nash tertentu padanya dan masuk ke dalam kaedah umum. Menurut definisi lain adalah: sebuah sifat (maslahat) yang belum ditetapkan oleh syariat.

Jadi maslahat mursalah itu adalah salahsatu proses ijtihad untuk mencapai sebuah kemaslahatan bagi umat, yang belum disebutkan syariat, dengan memperhatikan syarat-syaratnya.

Kembali kepada masalah pemungutan yang dikatakan sebagai maslahat mursalah tersebut apakah sesuai dengan tujuan maslahat mursalah itu sendiri atau justru bertentangan. Tentu saja amat bertentangan; dilihat dari kerusakan kerusakan pemungutan suara yang cukup menjadi bukti bahwa antara keduanya amat jauh berbeda.

[5]. Mereka mengatakan: Pemungutan suara ini hanya wasilah, bukan tujuan dan maksud kami adalah baik.

Bantahannya adalah:
Tidak dikenal kamus tujuan menghalalkan segala cara, sebab itu adalah kaidah Yahudiah. Sebab berdasarkan kaidah Usuliyah: hukum sebuah wasilah ditentukan hasil yang terjadi (didapat); jika yang terjadi adalah perkara haram (hasilnya haram) maka wasilahnya juga haram.

Adapun ucapan mereka bahwa yang mereka inginkan adalah kebaikan.

Maka jawabannya bahwa niat yang baik lagi ikhlas serta keinginan yang baik lagi tulus belumlah menjamin kelurusan amal. Sebab betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan tetapi tidak mendapatkannya.

Sebab sebuah amal dapat dikatakan shahih dan makbul jika memenuhi 2 syarat: [a] Niat ikhlas dan [b] Menetapi as-Sunnah. Jadi bukan hanya bermodal keinginan [i'tikad baik saja]

[6]. Mereka mengatakan: Kami mengikuti pemungutan suara dengan tujuan menegakkan daulah Islam.

Bantahannya:
Ada sebuah pertanyaan yang ditujukan kepada mereka, bagaimana cara menegakkan daulah Islam ?

Sedangkan di awal perjuangan, mereka sudah tunduk pada undang-undang sekuler yang diimpor dari Eropa. Mengapa mereka tidak memulai menegakkan hukum Islam itu pada diri mereka sendiri, atau memang ucapan mereka "Kami akan menegakkan daulah Islam" hanyalah slogan kosong belaka. Terbukti mereka tidak mampu untuk menegakkannya pada diri mereka sendiri.

Kalau ingin buktinya maka silahkan melihat mereka-mereka yang meneriakkan slogan tersebut.

[7]. Mereka mengatakan : Kami tidak mau berpangku tangan dengan membiarkan musuh-musuh bergerak leluasa tanpa hambatan.

Bantahannya:
Apakah masuk akal jika untuk menghadapi musuh-musuhnya, mereka bergandengan tangan dengan musuh-musuhnya dalam kursi parlemen, berkompromi dengan musuh dalam membuat undang-undang? Bukankah ini tipu daya ala Yahudi yang telah Allah nyatakan dalam al-Qur'an:

"Artinya : Segolongan lain dari ahli Kitab berkata kepada sesamanya: Perlihatkanlah seolah-olah kamu beriman kepada apa yang diturunkan kepada orang-orang yang beriman (sahabat-sahabat Rasul) pada permulaan siang dan ingkarilah ia pada akhirnya, supaya mereka (orang-orang Mukmin) kembali (kepada kekafiran)". [Ali-Imran: 72]

Dan ucapan mereka bahwa masuknya mereka ke kancah demokrasi itu adalah refleksi perjuangan mereka, tidak dapat dipercaya. Bukankah Allah telah mengatakan:

"Artinya : Orang-orang Yahudi dan Nashrani tidak akan senang kepada kamu, hingga kamu mengikuti agama mereka" [Al-Baqarah: 120]

Lalu mengapa mereka saling bahu membahu dengan orang-orang Yahudi dan Nashrani? Apakah mereka menerapkan kaedah: saling bertolong-tolongan pada perkara-perkara yang disepakati dan saling toleransi pada perkara- perkara yang diperselisihkan. Tidakkah mereka takut pada firman Allah

"Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mu'min. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu ?)". [An-Nisaa: 144]

[8]. Mereka mengatakan: Kami terjun dalam kancah demokrasi karena alasan darurat.

Bantahannya:
Darurat menurut Ushul yaitu: keadaan yang menimpa seorang insan berupa kesulitan bahaya dan kepayahan/kesempitan, yang dikhawatirkan terjadinya kemudharatan atau gangguan pada diri (jiwa), harta, akal, kehormatan dan agamanya. Maka dibolehkan baginya perkara yang haram (meninggalkan perkara yang wajib) atau menunda pelaksanaannya untuk menolak kemudharatan darinya, menurut batas-batas yang dibolehkan syariat.

Lalu timbul pertanyaan kepada mereka: yang dimaksud alasan itu, karena keadaan darurat atau karena maslahat?.

Sebab maslahat tentu saja lebih luas dan lebih umum ketimbang darurat. Jika dahulu mereka katakan bahwa demokrasi itu atau pemungutan suara itu hanyalah wasilah maka berarti yang mereka lakukan tersebut bukanlah karena darurat akan tetapi lebih tepat dikatakan untuk mencari maslahat, Maka terungkaplah bahwa ikut sertanya mereka dalam kancah demokrasi tersebut bukanlah karena darurat tapi hanya karena sekedar mencari setitik maslahat.

[9]. Mereka mengatakan: Kami terpaksa melakukannya, sebab jika tidak maka musuh akan menyeret kami dan melarang kami menegakkan hukum Islam dan melarang kami shalat di masjid-masjid dan melarang kami berbicara (berkhutbah).

Bantahannya:
Mereka hanya dihantui bayangan saja; atau mereka menyangka kelangsungan da'wah kepada jalan Allah hanya tergantung di tangan mereka saja. Dengan itu mereka menyimpang dari manhaj an-nabawi dalam berda'wah kepada Allah dan dalam al-islah (perbaikan). Lalu mereka menuduh orang-orang yang tetap berpegang teguh pada as- Sunnah sebagai orang-orang pengecut (orang-orang yang acuh tak acuh terhadap nasib umat). Apakah itu yang menyebabkan mereka membabi buta dan gelap mata? Hendaknya mereka mengambil pelajaran dari seorang sahabat yang mulia yaitu Abu Dzar al-Giffari ketika Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam berpesan kepadanya:

"Artinya : Tetaplah kau di tempat engkau jangan pergi kemana-mana sampai aku mendatangimu. Kemudian. Rasulullah pergi di kegelapan hingga lenyap dari pandangan, lalu aku mendengar suara gemuruh. Maka aku khawatir jika seseorang telah menghadang Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam, hingga aku ingin mendatangi beliau. Tapi aku ingat pesan beliau: tetaplah engkau di tempat jangan kemana-mana, maka akupun tetap di tempat tidak ke mana-mana. Hingga beliau mendatangiku. Lalu aku berkata bahwa aku telah mendengar suara gemuruh, sehingga aku khawatir terhadap beliau, lalu aku ceritakan kisahku. Lalu beliau berkata apakah engkau mendengarnya?. Ya, kataku. Beliau berkata itu adalah Jibril, yang telah berkata kepadaku: barang siapa di antara umatmu (umat Rasulullah) yang wafat dengan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, akan masuk ke dalam surga. Aku bertanya, walaupun dia berzina dan mencuri? Beliau berkata, walaupun dia berzina dan mencuri". [Mutafaqun alaih]

Lihatlah bagaimana keteguhan Abu Dzar al-Ghifari terhadap pesan Rasulullah untuk tidak bergeming dari tempat, walaupun dalam sangkaan beliau, Rasulullah berada dalam mara bahaya ! Bukankah hal tersebut gawat dan genting. Suara gemuruh yang mencemaskan beliau atas nasib Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam. Namun apa gerangan yang menahan Abu Dzar al-Ghifari untuk menemui Rasulullah. Apakah beliau takut, atau beliau pengecut, atau beliau acuh tak uh akan nasib Rasulullah ? Tidak ! Sekali-kali tidak! Tidak ada yang menahan beliau melainkan pesan Rasulullah : tetaplah engkau di tempat, jangan pergi ke mana-mana hingga aku datang!.

Keteguhan beliau di atas garis as-Sunnah telah mengalahkan (menundukkan) pertimbangan akal dan perasaan! Beliau tidak memilih melanggar pesan Rasulullah dengan alasan ingin menyelamatkan beliau shalallahu 'alaihi wasallam.

Kemudian kita lihat hasil keteguhan beliau atas pesan Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam berupa ilmu tentang tauhid yang dibawa malaikat Jibril kepada Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam. Kabar gembira bagi para muwahhid (ahli tauhid) yaitu surga. Seandainya beliau melanggar pesan Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam maka belum tentu beliau mendapatkan ilmu tersebut pada saat itu !!

Demikian pula dikatakan kepada mereka: Kami tidak hendak melanggar as-Sunnah dengan dalih menyelamatkan umat ! (Karena keteguhan di atas as-Sunnah itulah yang akan menyelamatkan ummat -red).

Berbahagialah ahlu sunnah (salafiyin) berkat keteguhan mereka di atas as-Sunnah.

[10]. Mereka mengatakan: Bahwa mereka mengikuti kancah pemunggutan suara untuk memilih kemudharatan yang paling ringan.

Mereka juga berkata bahwa mereka mengetahui hal itu adalah jelek, tapi ingin mencari mudharat yang paling ringan demi mewujudkan maslahat yang lebih besar.

Bantahannya:
Apakah mereka menganggap kekufuran dan syirik sebagai sesuatu yang ringan kemudharatannya? Timbangan apa yang mereka pakai untuk mengukur berat ringannya suatu perkara? Apakah timbangan akal dan hawa nafsu? Tidakkah mereka mengetahui bahwa demokrasi itu adalah sebuah kekufuran dan syirik produk Barat? Lalu apakah ada yang lebih berat dosanya selain kekufuran dan syirik.

Kemudian apakah mereka mengetahui syarat-syarat dan batasan-batasan kaedah "memilih kemudharatan yang paling ringan."

Jika jawaban mereka tidak mengetahui; maka hal itu adalah musibah.

Jika jawabannya mereka mengetahui, maka dikatakan kepada mereka: coba perhatikan kembali syarat-syaratnya! Di antaranya:

[a]. Maslahat yang ingin diraih adalah nyata (realistis) bukan sekedar perkiraan (anggapan belaka). Kegagalan demi kegagalan yang dialami oleh mereka yang melibatkan di dalam kancah demokrasi itu cukuplah sebagai bukti bahwa maslahat yang mereka janjikan itu hanyalah khayalan dan isapan jempol belaka.

[b]. Maslahat yang ingin dicapai harus lebih besar dari mafsadah (kerusakan) yang dilakukan, berdasarkan paham ahli ilmu. Jika realita adalah kebalikannya yaitu maslahat yang hendak dicapai lebih kecil ketimbang mafsadah yang terjadi, maka kaedahnya berganti menjadi:

Menolak mafsadah (kerusakan) lebih didahulukan ketimbang mencari (mengambil) mashlahat.

[c]. Tidak ada cara (jalan) lain untuk mencapai maslahat tersebut melainkan dengan melaksanakan mafsadah (kerusakan) tersebut.

Syarat yang ketiga ini sungguh amat berat untuk dipenuhi oleh mereka sebab konsekuensinya adalah: tidak ada jalan lain untuk menegakkan hukum Islam, kecuali dengan jalan demokrasi tersebut. Sungguh hal itu adalah kebathilan yang amat nyata! Apakah mungkin manhaj Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam dalam ishlah (perbaikan) divonis tidak layak dipakai untuk menegakkan hukum Islam? Tidaklah kita mengenal Islam, kecuali melalui beliau shalallahu 'alaihi wasallam?

[11] Mereka mengatakan: Bahwa beberapa Ulama ahlu sunnah telah berfatwa tentang disyariatkannya pemungutan suara (pemilu) ini seperti: Syeikh al-Albani, Bin Baz, Bin Utsaimin. Lalu apakah kita menuduh mereka (para ulama) hizbi ?

Jawabannya tentu saja tidakl
Amat jauh para ulama itu dari sangkaan mereka, karena beberapa alasan:

[a]. Mereka adalah ulama dan pemimpin kita, serta pemimpin da'wah yang penuh berkah ini (da'wah salafiyah) dan pelindung Islam. Kita tidak meneguk ilmu kecuali dari mereka. Kita berlindung kepada Allah semoga mereka tidak demikian (tidak hizbi)! Bahkan sebaliknya, merekalah yang telah memperingatkan umat dari bahaya hizbiyah. Tidaklah umat selamat dari hizbiyah kecuali, melalui nasihat-nasihat mereka setelah taufiq dari Allah tentunya. Kitab-kitab dan kaset-kaset mereka penuh dengan peringatan tentang hizbiyah.

[b]. Para ulama berfatwa (memberi fatwa) sesuai dengan kadar soal yang ditanyakan. Bisa saja seorang datang kepada ulama dan bertanya:

Ya Syeikh!, kami ingin menegakkan syariat Allah dan kami tidak mampu kecuali melalui pemungutan suara dengan tujuan untuk mengenyahkan orang-orang sosialis dan sekuler dari posisi mereka! Apakah boleh kami memilih seorang yang shalih untuk melaksanakan kepentingan ini? Demikianlah soalnya!

Lain halnya seandainya bunyi soal : Ya Syeikh, pemungutan suara itu menimbulkan mafsadah (kerusakan) begini dan begini, dengan menyebutkan sisi negatif yang ditimbulkannya, maka niscaya jawabannya akan lain. Mereka-mereka itu (yaitu hizbiyun dan orang-orang yang terfitnah oleh hizbiyun) mencari-cari talbis (tipu daya) terhadap para ulama! Adapun dalil bahwa seorang alim berfatwa berdasarkan apa yang ia dengar. Dan sebuah fatwa ada kalanya keliru, adalah dari sebuah hadits dari Ummu Salamah:

"Artinya : Sesungguhnya kalian akan mengadukan pertengkaran di antara kalian padaku, barang kali sebagian kalian lebih pandai berdalih ketimbang lainnya. Barang siapa yang telah aku putuskan baginya dengan merebut hak saudaranya, maka yang dia ambil itu hanyalah potongan dari api neraka; hendaknya dia ambil atau dia tinggalkan" [Mutafaqun alaih]

Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam juga telah memerintahkan kepada para qadi untuk mendengarkan kedua belah pihak yang bersengketa. Dalam sebuah hadits riwayat Ahmad, Rasulullah berkata kepada Ali bin Abu Thalib:

"Artinya : Wahai Ali jika menghadap kepada engkau dua orang yang bersengketa, janganlah engkau putuskan antara mereka berdua, hingga engkau mendengar dari salah satu pihak sebagaimana engkau mendengarnya dari pihak lain. Sebab jika engkau melakukan demikian, akan jelas bagi engkau, putusan yang akan diambil". [Hadits Riwayat Ahmad]

Oleh sebab itu kejahatan yang paling besar yang dilakukan oleh seorang Muslim adalah diharamkannya perkara-perkara yang sebelumnya halal, disebabkan pertanyaannya. Dalam sebuah hadits riwayat Saad bin Abi Waqas radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam bersabda:

"Artinya : Sesungguhnya kejahatan seorang Muslim yang paling besar adalah bertanya tentang sebuah perkara yang belum diharamkan. Lalu diharamkan disebabkan pertanyaannya". [Mutafaqun Alaih]

Ibnu Thin berkata bahwa kejahatan yang dimaksud adalah menyebabkan kemudharatan atas kaum Muslimin disebabkan pertanyaannya. Yaitu menghalangi mereka dari perkara-perkara halal sebelum pertanyaannya.

Hendaknya orang-orang yang melakukan tindakan berbahaya seperti ini bertaubat kepada Allah. Dan para tokoh kaum Muslimin agar berhati-hati terhadap orang-orang semacam itu.

[c]. Lalu bagaimana sikap mereka (para Hizbiyin) tatkala telah jelas bahwa bagi para Ulama, demokrasi dan pemilihan suara ini adalah haram disebabkan mafsadah yang ditimbulkannya. Apakah mereka akan mengundurkan diri dari kancah demokrasi dan pemilu itu? atau mereka tetap nekat. Realita menunjukkan bahwa mereka hanya memancing di air keruh. Mereka hanya mencari keuntungan untuk golongannya saja dari fatwa para ulama. Terbukti jika fatwa ulama tidak menguntungkan golongan mereka, maka merekapun menghujatnya dengan berbagai macam pelecehan. Wallahu a'lam.

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 11/Th. III/1420-1999. Disadur dari kitab Tanwiir adz-Dzulumat tulisan Abu Nashr Muhammad bin Abdillah al-Imam dan kitab Madarik an-Nazhar Fi Siasah tulisan Abdul Malik Ramadhani]

Ditulis Ulang Oleh : Andika Putra
Di Alamat: http://www.facebook.com/notes/andika-putra/syubhat-syubhat-sekitar-masalah-demokrasi-dan-pemunggutan-suara/329068956956